Mengenai Saya

Foto saya
YOGYA -TERNATE, DIY, Indonesia
ORANGNYA SANTAI, TAMPIL APA ADANYA, SENENG YANG SIMPEL2, DAN YANG PRAKTIS AJA, KALO SOAL KEBIJAKAN SAYA ORANGNYA CUKUP CEPAT DAN TEGAS

Jumat, 19 Desember 2008

REKLAMASI LAHAN

PEMANFAATAN LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH
Abstrak
Kegiatan penambangan timah di darat telah lama berlangsung terutama di Pulau Bangka, Belitung dan Singkep. Dampak dari operasi penambangan adalah penurunan sifat-sifat fisik dan kimia tanah, perubahan topografi lahan, hilangnya vegetasi alami, berkurangnya habitat satwa liar. Lahan pasca tambang timah didominasi oleh hamparan tailing, overburden, dan kolong. Tailing timah mempunyai karakterisitik fisika dan kimia tanah serta kondisi iklim mikro yang jelek. Untuk memanfaatkan kembali lahan pasca tambang timah, terutama lahan tailing perlu dilakukan reklamasi dan rehabilitasi. Berbagai aplikasi teknologi telah dan akan dikembangkan untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Sejumlah spesies tumbuhan spesifik lokal, tanaman eksotik seperti akasia, dan tanaman budidaya dikembangkan sebagai tanaman untuk revegatasi lahan pasca tambang timah. Meskipun demikian sampai saat ini belum ada manfaat ekonomis yang secara nyata dirasakan oleh masyarakat dari reklamasi tersebut.

Pendahuluan
Pembangunan memerlukan sumberdaya alam (SDA), antara lain mineral, batubara dan panas bumi. Indonesia relatif kaya dengan berbagai SDA yang harus dioptimalkan pemanfaatannya. Salah satu sumberdaya mineral yang dimiliki Indonesia adalah bijih timah dengan kandungan stanium (Sn). Menurut Noer (1998), kasiterit (SnO2) adalah mineral utama pembentuk timah dengan batuan pembawanya adalah granit. Sujitno (2007) menjelaskan kegunaan timah antara lain untuk bahan pencampur dalam pembuatan alat-alat musik (seperti gong gamelan, dan lonceng), bahan pembuat kemasan kaleng, bahan solder, senjata (peluru), fire retardant, bahan pelapis anti karat, dan kerajinan cindera mata (pewter).
Endapan timah di Indonesia merupakan lanjutan dari salah satu jalur timah terkaya di dunia yang membujur dari Cina Selatan, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Di Indonesia jalur timah tersebut meliputi pulau-pulau Karimun, Kundur, Singkep, Bangka Belitung, Beling, dan daerah Bangkinang serta Kepulauan Anambas, Natuna dan Karimata (Noer, 1998). Penambangan timah terbesar berada di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT. Timah Tbk., 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Dari luas Pulau Bangka 1.294.050 ha, sebesar 27,56 % daratan pulau ini merupakan areal Kuasa Penambangan (KP) timah. PT. Tambang Timah (anak perusahaan PT. Timah Tbk,) menguasai lahan seluas 321.577 ha dan PT. Kobatin seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain kedua perusahan tersebut, izin kuasa penambangan (KP) timah juga diberikan kepada perusahaan swasta, Sampai dengan pertengahan tahun 2007, jumlah KP timah mencapai 101 izin dengan luas pencadangan 320.219 ha, dan yang telah ditambang 6.084 ha (Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2007).
Penambangan timah lepas pantai dilakukan dengan teknologi kapal keruk (Departemen Pertambangan dan energi, 1998) sedangkan penambangan timah di darat dilakukan dengan sistem tambang semprot, tambang dalam dan kapal keruk darat (Sujitno, 2007). Tahapan utama penambangan timah dengan sistem terbuka (open pit) meliputi pembukaan permukaan lahan dari penutupan vegetasi (land clearing), pengupasan tanah bagian atas (stripping), penggalian, pembuatan dam, pencucian, dan pembuangan bahan padat sisa hasil pencucian timah (tailing) (PT. Timah Tbk, 1991).
Kegiatan operasi tambang berdampak secara nyata terhadap lingkungan hidup. Menurut Sujitno (2007), dampak kegiatan ini terutama perubahan drastis atas sifat fisik dan kimia tanah. Setiadi (2006) menambahkan dampak tersebut termasuk gangguan terhadap vegetasi, hewan dan tanah yang ada, serta ekosistem alami. Dampak kehilangan vegetasi dan degradasi lahan secara potensial dapat menyebabkan erosi tanah, kehilangan biodiversitas, berkurangnya habitat hewan liar, dan degradasi daerah penampung air.
Pertambangan adalah kegiatan dengan penggunaan lahan yang bersifat sementara, oleh karena itu lahan pasca tambang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produktif lain. Untuk memanfaatkan lahan pasca tambang maka harus ada upaya untuk memulihkan kembali lahan yang telah rusak akibat dari kegiatan penambangan. Upaya perbaikan lahan bekas tambang dilakukan melalui program reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang.

Dampak Penambangan Timah
Kegiatan penambangan di darat berpengaruh terutama pada sifat fisik dan kimia tanah. Perubahan struktur tanah terjadi akibat penggalian top soil untuk mencapai lapisan bertimah yang lebih dalam. Pembuatan dam (phok) telah mengubah topografi dan komposisi tanah permukaan akibat digunakannya tanah overburden sebagai sarana penimbun. Top soil musnah karena tertimbun tailing atau terendam genangan air (Sujitno, 2007).
Lebih lanjut Sujitno (2007) menjelaskan, pemandangan umum yang dijumpai pada lahan bekas tambang timah berupa kolong (lahan bekas penambangan yang berbentuk semacam danau kecil dengan kedalaman mencapai 40 m), timbunan liat hasil galian (overburden), dan hamparan taling yang berupa rawa atau lahan kering. Latifah (2004) mengindikasikan bahwa sejalan dengan waktu, timbunan tailing akan membentuk hamparan tailing yang semakin luas. Kolong yang terbentuk pada proses penambangan skala besar umumnya tidak memunginkan untuk ditimbun sehingga menjadi semacam danau buatan.
Sejauh ini pemanfaatan kolong timah di Pulau Bangka belum optimal. Sebagian besar hanya dibiarkan, secara ekologis kolong tersebut berfungsi sebagai kolam retensi dan water catchment area untuk menampung hujan yang mengalir melalui aliran permukaan. Secara ekonomi, potensi kolong untuk dimanfaatkan sebagai sumber air baku, budidaya perairan, atau tempat rekreasi air Belum banyak dilakukan, baik oleh perusahaan penambang maupun pemerintah. Demikian juga pemanfaatan lahan tailing yang semakin luas sampai saat ini hanya sebatas di”hijau”kan dengan tanaman-tanaman serbaguna (multipurpose tree species, MPTS), terutama akasia.

Reklamasi dan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah
Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997).
Ruang lingkup reklamasi lahan meliputi:
(1) pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan
(2) mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi tersebut adalah terciptanya lahan bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya (Direktorat Jenderal Mineral Batubara Dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006).
Menurut Sujitno (2007), arah dari upaya rehabilitasi lahan bekas tambang ditinjau dari aspek teknis adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah agar stabil dan tidak rawan erosi. Dari aspek ekonomis dan estetika lahan, kondisi tanah diperbaiki agar nilai/potensi ekonomisnya dapat dikembalikan sekurang-kurangnya seperti keadaan semula. Dari aspek ekosistem, upaya pengembalian kondisi ekosistem ke ekosistem semula. Dalam hal ini revegetasi/reforestisasi adalah upaya yang dapat dinilai mencakup kepada kepentingan aspek-aspek tersebut. Reklamasi hampir selalu identik dengan revegetasi.
Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang ((Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997). Menurut Setiadi (2006), tujuan dari revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air.
Landasan hukum utama kegiatan reklamasi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan. Pada Pasal 30 dari Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Penambangan (KP) diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 46 ayat (4) disebutkan bahwa sebelum meninggalkan bekas wilayah KP-nya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang KP harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum.
Pada Pasal 46 ayat (5) disebutkan bahwa Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang KP sebelum meninggalkan bekas wilayah KP.
Peraturan pelaksanaan reklamasi lahan diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Pertambangan Umum. Pada Pasal 12 ayat (1) reklamasi areal bekas tambang harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, dan ayat (2), reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui oleh Dirjen. Pada Pasal 13 ayat (1), Kepala Teknik Tambang wajib menanami kembali daerah bekas tambang, termasuk daerah sekitar project area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.
Pemanfaatan Lahan Pasca Tambang Timah
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memanfaatkan tailing timah. Penanaman dengan tanaman hortikultura dan tanaman pangan telah berhasil. Sejumlah area digunakan untuk pemukiman, sementara areal lain dikonversi menjadi taman rekreasi (Majid et al, 1994). Sekitar 80 % dari tailing timah merupakan sand dan sisanya slime dan sandy slime. Slime tailing merupakan hamparan permukaan yang lebih baik dibandingkan sand tailing untuk pertanian karena drainasenya baik. Sand tailing sangat tidak subur dan tidak cocok untuk budidaya tanaman.
Hanya sebagian kecil dari lahan tidak subur tersebut yang dimanfaatkan untuk peternakan, penanaman sayuran, dan buah (Ang, 1994). Sujitno (2007) melaporkan sejumlah tanaman sudah pernah dicoba perusahaan maupun masyarakat untuk memanfaatkan lahan tailing timah di Pulau Bangka, Belitung dan Singkep. Tanaman tersebut antar lain kelapa, jambu monyet, pisang, ubi, pepaya, kacang tanah, dan sayuran. Budidaya tanaman tersebut dikombinasikan dengan usaha peternakan ayam yang merupakan sumber bahan organik bagi lahan ini. Menurut Majid et al. (1994), produksi pertanian di tailing timah sangat intensif dan membutuhkan masukan modal yang besar dan tentu saja sulit terjangkau oleh petani umumnya.
Penggunaan pohon, terutama spesies pohon multiguna (multipurpose tree species, MPTS) seperti Acacia mangium, Acacia auriculiformis dan Leucaena diversifolia telah digunakan untuk silvikultur di lahan bekas tambang di Semenanjung Malaysia sejak 1987. Luas tailing timah yang harus di reklamasi di negara tersebut diperkirakan 202.700 ha atau sekitar 1,5% dari total daratan semenanjung Malaysia ((Awang, 1994).
PT. Timah Tbk selaku perusahaan pertambangan timah utama di Indonesia mulai melakukan penelitian secara sistematis dan ilmiah untuk revegetasi lahan pasca tambang timah pada tahun 1982 bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Selanjutnya revegetasi dilakukan dengan menggunakan tanaman akasia (A. mangium dan A. auriculiformis), gamal dan sengon (Sujitno, 2007). Revegetasi selama lebih dari 6 tahun dengan A. mangium di lahan pasca tambang PT. Timah Tbk dikategorikan berhasil (Latifah, 2000). Sampai dengan April 2001, PT. Timah Tbk. telah mereklamasi sekitar 5.251. ha di Pulau Bangka dan Belitung (PT. Timah Tbk., 2002).
Sejak tahun 2001, perusahaan ini untuk sementara menghentikan program reklamasinya karena lahan-lahan yang telah direklamasi ditambang kembali secara illegal oleh masyarakat setempat. Program tersebut baru dilaksanakan kembali pada tahun 2007 melalui pencanangan program Green Babel.
Sementara itu, PT. Koba Tin sudah mulai melakukan upaya reklamasi dan revegetasi pada tahun 1976 dengan melakukan berbagai percobaan. Semenjak tahun 1988-1989, perusahaan telah mulai kegiatan reklamasi dengan penanaman tanaman pohon seperti akasia, sengon dan gelam (Setiawan, 2003). Sampai tahun 2002, PT. Koba Tin telah mereklamasi 3.304 ha lahan bekas tambang di Kabupaten Bangka Tengah (PT. Koba Tin, 2003 in Nurtjahya, 2003).
Alternatif Komoditi
Ditinjau dari aspek konservasi lahan, revegetasi dengan menggunakan jenis MPTS telah dilakukan berhasil menghijaukan kembali lahan-lahan bekas tambang serta mampu mencegah erosi. Akan tetapi, sangat disayangkan tanaman yang dikembangkan belum memberikann manfaat secara ekonomi, baik bagi perusahaan maupun masyarakat setempat. Oleh sebab itu perlu dikembangkan spesies lain yang bernilai ekonomis lebih tinggi, seperti tanaman pangan, buah, industri dan tanaman perkebunan.
Gofar et al. (1999) dan Naning et al (1999) telah melakukan penelitian terhadap tanaman jagung sedangkan Hanura (2005) terhadap tanaman kedelai. Sementara itu Santi (2005) meneliti pengembangan tanaman nilam. Sejak tahun 2006, PT. Tambang Timah (anak perusahaan PT. Timah Tbk.) membuat demplot budidaya jarak pagar (Jatropha curcas L.) di beberapa lahan bekas tambang, dengan bekerjasama dengan Universitas Bangka Belitung (PT. Timah Tbk, 2006).
Penelitian-penelitian serupa untuk komoditi lain perlu terus diintensifkan agar manfaat ekonomis dari hasil reklamasi dan revegetasi dapat dinikmati oleh masyarakat pasca era kejayaan timah. Riset terapan yang memfokuskan pada satu komoditi yang dianggap prospektif untuk memperoleh paket teknologi reklamasi yang paripurna, murah dan sederhana. Terdapat banyak komoditi yang dapat dikembangkan sebagai alternatif, terutama tanaman-tanaman buah dan perkebunan. Tanaman buah yang telah banyak ditanam di pekrangan rumah seperti mangga dan jeruk di beberapa lokasi berhasil tumuh dan berproduksi dengan baik di tanah bekas tambang.
Selain pilihan komoditi, pengembangan teknologi reklamasi tambang timah juga perlu menekankan pada pemanfaatan bahan organik yang tersedia secara lokal, misalnya limbah padat dan cair pengolahan kelapa sawit, limbah cair pengolahan karet, kompos yang berasal dari sampah kota, kompos dari sisa-sisa tanaman pada suatu pembukaan lahan, dan sebagainya. Hal ini perlu dilakukan, karena selain bahan-bahan tersebut belum dimanfaatkan, juga untuk menekan biaya reklamasi terutama biaya penambahan bahan organik pada tailing timah yang cukup tinggi.
Kesimpulan
1. Lahan pasca tambang timah merupakan lahan marjinal yang mempunyai sifat-sifat fisik dan kimia serta iklim mikro yang jelek, sehingga untuk memanfaatkannya kembali diperlukan upaya reklamasi dan revegetasi lahan.
2. Reklamasi lahan pasca tambang timah secara hukum wajib dilaksanakan oleh perusahaan tambang timah sebagai wujud tanggung jawabnya untuk memulihkan kembali lahan yang telah mengalami degradasi akibat operasional tambang.
3. Kegiatan revegetasi lahan tailing timah telah dilakukan dengan menggunakan spesies asli setempat (native species), spesies pohon multiguna (multipurpose tree species), dan tanaman budidaya.
4. Sejumlah bidang penelitian mempunyai prospek untuk diteliti lebih lanjut untuk meningkatkan keberhasilan reklamasi, baik secara teknis, ekologis maupun ekonomis.…

Kamis, 18 Desember 2008

energi terbarukan

KONVERSI ENERGI TERBARUKAN
BIOFUEL
Biofuel adalah setiap bahan bakar baik padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik atau pertanian.
Ada tiga cara untuk pembuatan biofuel:
- pembakaran limbah organik kering (seperti buangan rumah tangga, limbah industri dan pertanian)
- fermentasi limbah basah (seperti kotoran hewan) tanpa oksigen untuk menghasilkan biogas (mengandung hingga 60 persen metana), atau fermentasi tebu atau jagung untuk menghasilkan alkohol dan ester
- energi dari hutan (menghasilkan kayu dari tanaman yang cepat tumbuh sebagai bahan bakar).
Proses fermentasi menghasilkan dua tipe biofuel: alkohol dan ester. Bahan-bahan ini secara teori dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil tetapi karena terkadang diperlukan perubahan besar pada mesin, biofuel biasanya dicampur dengan bahan bakar fosil. Uni Eropa merencanakan 5,75 persen etanol yang dihasilkan dari gandum, bit, kentang atau jagung ditambahkan pada bahan bakar fosil pada tahun 2010 dan 20 persen pada 2020. Sekitar seperempat bahan bakar transportasi di Brazil tahun 2002 adalah etanol.
Keuntungan biofuel
1. merupakan sumber energi yang berkesinambungan
2. mengurangi gas emisi rumah kaca
3. karbondioksida dikomsumsi saat pembakaran biofuel
4. mengurangi emisi racun seperti hidrokarbon, karbonmonoksida, dan emisi – emisi tertentu.
5. biodegrabilitas lebih cepat dari bahan bakar minyak
Minyak Sawit
Produksi minyak sawit dapat digolongkan dalam dua tipe minyak, yaitu minyak dari daging buah sawit (palm oil) dan minyak dari biji kelapa sawit (palm kernel oil). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minyak sawit memberikan efek positif bagi kesehatan manusia. Hal ini disebabkan karena minyak sawit kaya akan anti-oksidan alamiah (tocopherol dan toco trienol) dan juga kaya akan karetenoida (caretenoids).
Masukan dan keluaran energi dari berbagai tanaman
Jenis Tanaman Energi (GJ/ha)
Input Output Ratio
Kelapa Sawit (Malaysia) 19.2 182.1 9.5
Jagung (USA) 30.0 84.5 2.8
Jagung (Mexico) 1.0 29.4 30.0
Padi (USA) 65.5 84.1 1.3
Padi (Philipina) 1.0 24.4 4.4
Gandum (India) 6.6 11.2 1.7
Lobak(UK) 23.0 70.0 3.0
Kedelai (USA) 20.0 50.0 2.5
Buncis (UK) 0.9 10.3 0.94
Gula Bit (UK) 124.4 82.9 0.7
Selada (UK) 5300.0 10.6 0.002
Pertumbuhan total luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurut CIG 2004 Gambaran perkembangna luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia (KMSI, 2007) adalah sebagai berikut: 606.780 ha (1986), meningkat dengan pesat menjadi 2.249.514 ha (1996) dan 6.074.926 ha (2006).
Angka luasan kebun pada tahun 2006 terdiri dari PTPN (696.699 ha), Swasta (2.741.802 ha) dan Rakyat (2.636.425 ha). Di Indonesia, pengembangan perkebunan kelapa sawit juga dilakukan dengan melakukan konversi hutan produksi menjadi kebun sawit Dalam jangka waktu 3 – 5 tahun, pertambahan luasan perkebunan kelapa sawit diperkirakan dapat mencapai 700.000 ha. Dalam jangka panjang, pertambahan luasan kebun tersebut dapat diharapkan sekitar 4 (empat) juta ha. Hanya di Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat dapat memiliki kelas-kelas kebun S1 dan S2, sedangkan provinsi-provinsi lainnya kebanyakan hanya terdiri dari kebun kelas S3. Namun kelas yang terakhir tersebut dapat diperbaiki dengan pemakaian bahan-bahan atau bibit unggul dan cara budidaya tanaman yang lebih baik. Tanaman kelapa sawit unggul, misalnya dari IOPRI, memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut: mulai berbuah pada umur 28 bulan; produktivitas TBB 25 – 32 ton/ha/th dengan maksimum 40 ton/ha/th; hasil CPO 24.0 – 26.5 %; dan produksi ptensial CPO sebesar 7 – 8 ton/ha/th dan jumlah tanaman antara 130 – 143 pokok/ha.
Potensi kelapa sawit Indonesia bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan power plant. Dari 140 ribu hektar, bisa menghasilkan kekuatan 3 MW
.
Membuat biodiesel
Pada skala kecil dapat dilakukan dengan bahan minyak goreng 1 liter yang baru atau bekas. Methanol sebanyak 200 ml atau 0.2 liter. Soda api atau NaOH 3,5 gram untuk minyak goreng bersih, jika minyak bekas diperlukan 4,5 gram atau mungkin lebih. Kelebihan ini diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas atau FFA yang banyak pada minyak goreng bekas. Dapat pula mempergunakan KOH namun mempunyai harga lebih mahal dan diperlukan 1,4 kali lebih banyak dari soda. Proses pembuatan; Soda api dilarutkan dalam Methanol dan kemudian dimasukan kedalam minyak dipanaskan sekitar 55 oC, diaduk dengan cepat selama 15-20 menit kemudian dibiarkan dalam keadaan dingin semalam. Maka akan diperoleh biodiesel pada bagian atas dengan warna jernih kekuningan dan sedikit bagian bawah campuran antara sabun dari FFA, sisa methanol yang tidak bereaksi dan glyserin sekitar 79 ml. Biodiesel yang merupakan cairan kekuningan pada bagian atas dipisahkan dengan mudah dengan menuang dan menyingkirkan bagian bawah dari cairan. Untuk skala besar produk bagian bawah dapat dimurnikan untuk memperoleh gliserin yang berharga mahal, juga sabun dan sisa methanol yang tidak bereaksi.
Berdasarkan data tahun 2006, Indonesia telah menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 16 juta ton. Sementara negara tetangga kita Malaysia yang selama ini berada pada posisi no.1, saat ini berada pada posisi ke-2 dengan total produksi sebesar 15.8 juta ton
Minyak sawit dihasilkan dari pengolahan tandan buah segar (TBS) di 12 PKS yang dimiliki Perusahaan. Minyak sawit memiliki spesifikasi mutu yang telah ditetapkan untuk dapat dipasarkan. Parameter yang dipersyaratkan antara lain kadar asam lemak bebas, kadar air dan kotoran.
Inti Sawit
Proses pengolahan TBS menjadi minyak sawit juga menghasilkan Inti sawit yang merupakan hasil pemisahan daging buah. Tahapan proses untuk menghasilkan inti sawit melalui pemisahan, pemecahan, pengeringan dan penyimpanan. Spesifikasi inti sawit harus memenuhi kriteria kadar air, kotoran, inti pecah dan inti berubah warna sesuai standar.
Kendala – kendala yang ditemui adalah
• Pengembangan tanaman untuk energi dalam skala besar akan mengakibatkan hilangnya lahan-lahan produktif rakyat
• hilangnya kawasan hutan. Ini telah terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dimana dengan berdalih pada pengembangan sumber energi hayati dan penanaman lahan kritis, senyatanya dilakukan pada lahan-lahan yang selama ini menjadi sumber kehidupan rakyat, dan juga pada lokasi-lokasi yang sebenarnya masih memiliki kelayakan untuk disebut sebagai hutan.
JARAK
Proses
“Jarak pagar adalah tanaman tropis yang tahan kering yang kini banyak dibudidayakan di Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, India, dan Afrika. Tanaman ini dikenal bermanfaat meningkatkan kesuburan tanah.
Di India, tanaman jarak pagar tumbuh baik secara liar maupun secara budi daya. Dari studi diketahui bahwa bukan hanya bijinya, bahkan buah jarak pagar juga mengandung minyak. Jika diperas, dari buah dapat dihasilkan 20 persen minyak, biji 40 persen. Di sana lahan jarak sudah mencapai ribuan hektare, terutama wilayah Rasashtan, Orissa, Chatisgarh.
Proses pengolahannya melalui beberapa tahap.
1. biji jarak dibersihkan
2. dimasukkan ke mesin pressing.
3. minyak mentah yang harus melalui proses sentrifugasi, sedimentasi, dan penyaringan, dan dihasilkan minyak bersih yang jernih berwarna kekuningan.
4. belum berarti minyak sudah bisa langsung dipakai di mobil. Konverter dibutuhkan untuk menyaring minyak dari asam lemak jenuh yang ada agar tidak merusak mesin kendaraan.
Tanaman jarak penghasil biodiesel ini berasal dari jenis tanaman jarak pagar yang dalam bahasa Inggris bernama Physic Nut dengan nama species Jatropha curcas, tanaman ini seringkali salah diidentifikasi dengan tanaman jarak yang dalam bahasa Inggris disebut castor bean dengan nama species Ricinus communis.
Manfaat minyak jarak sebagai substitusi bahan bakar sebetulnya telah lama diketahui. Misalnya melalui review yang dipublikasikan oleh Gubitz (1999) pada jurnal Bio resource Technology edisi 67, tahun 1997 grupnya di Austria telah mempublikasikan hasil uji adaptasi minyak jarak pada mesin diesel standar. Di dalam review tersebut juga disebutkan bahwa jauh sebelum pengujian tersebut dilaksanakan, pada tahun 1982, peneliti dari Jepang juga telah memperoleh hasil memuaskan dalam menguji performansi mesin dalam menggunakan minyak jarak di Thailand.
Pengembangan minyak dari tanaman jarak melalui pendekatan ilmiah di Indonesia dipelopori oleh Dr. Robert Manurung dari Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak tahun 1997 dengan fokus ekstraksi minyak dari tanaman jarak.Crude Jratopha Curcas (CJC) atau minyak kasar jarak. CJC ini selanjutnya akan diolah menjadi bio-fuel oleh perusahaan besar.
Lokasi
Petani Jarak Pagar di Bantul, untuk saat ini satu kilogram buah jarak kering dihargai Rp 500,-. Selain sebagai sumber penghasilan petani, minyak jarak kasar bisa dimanfaat sendiri sebagai bahan bakar kompor atau lampu minyak. Dalam satu hektar lahan dapat dihasilkan sekitar 5 ton minyak pertahun Minyak mentah hasil perasan biji kering akan diolah dengan proses trans-esterifikasi menggunakan metanol untuk memisahkan air. Reaksi tersebut tergolong sederhana dan hanya diperlukan sekitar 10 persen metanol. Hampir 100 persen minyak dapat dimurnikan, bahkan menghasilkan produk samping gliserol yang juga bernilai ekonomi
Tebu
Brazil pada tahun ini diperkirakan akan memanen sebesar 528 Juta tone tebu, atau naik 11% dari tahun 2006. Dan jika diproses akan menghasilkan ethanol sebesar 20 Milliar liter.
ampas tebu di Brasildibakar untuk menghasilkan panas guna menjalankan penyaring dan mesin lain di pabrik. Untuk produksi, pabrik hanya membutuhkan setrum 60 megawatt dari 160 MW yang diproduksi. Akhirnya, pabrik etanol mendapat pemasukan ekstra dari penjualan listrik. Karena harganya cukup bersaing (US$ 30-40 per MWh), sumber listrik baru itu akan menjadi idola masa depan. Jika ampas diolah dengan teknologi canggih, bisa menghasilkan setrum 9.000 MW, 15 kali produksi PLTN di sana. Kekurangan setrum menjadi cerita usang. Akhirnya, industriwan di Brasil berbondong-bondong menginvestasikan duitnya untuk memajukan teknologi itu. Ongkos produksi etanol (US$ 0,63 per galon) pun jadi lebih murah dibanding bensin (US$ 1,05).
Tebu Sebagai Pasokan Bahan Bakar
Produksi gula cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Ini di antaranya terjadi di Jabar yang berpenduduk sekira 40 juta orang, dengan tingkat konsumsi gula 17 kg/kapita/tahun atau sekira 680.000 ton/tahun.
Namun dari jumlah tersebut, kebutuhan tersebut dari daerah Jabar sendiri baru dipenuhi total 120.000-an ton/tahun. Sisanya, dipenuhi produksi gula dari daerah lain, misalnya Jateng, Jatim, dan impor.
Teknik yang diterapkannya adalah dimerisasi atau penggabungan metanol. Bubuk ampas tebu yang berasal dari sisa pengolahan tebu diolah menjadi metanol (CH3OH).
Melihat perbandingan dengan jumlah produksi, Jabar sebenarnya berpotensi untuk menambah pasokan dari daerah sendiri, sekaligus menciptakan peluang menambah pendapatan bagi masyarakat sekitar dengan mengusahakan tebu.
Adalah rencana pengembangan bagian selatan Kabupaten Garut untuk ditanami tebu, karena wilayah dan kondisi tanahnya mendukung. Melalui dukungan Bupati Garut, sekira 18.000 hektare lahan sudah tersedia di sana terutama di Kec. Pameungpeuk dan sekitarnya yang siap ditanami tebu.
Jika rencana ini kemudian terwujud, sentra penanaman tebu dan produksi gula di Jabar akan bertambah lagi. Di samping dari Wilayah Cirebon (Kabupaten Cirebon dan Majalengka), serta Subang, sentra produksi tebu pun terdapat di Priangan Timur melalui Garut Selatan.
Secara kultur teknis, kondisi tanah di Garut Selatan pun menunjang untuk ditanami tebu. Kondisi tanah di sekitar Kec. Pameungpeuk adalah podzolik, yang merupakan salah satu syarat bagi penanaman tebu, apalagi daerahnya pada lahan dataran rendah berdekatan dengan laut.
Melalui studi banding yang dilakukan ke Cina dan Taiwan beberapa waktu lalu, diperoleh jenis tebu yang cocok ditanam di Garut bagian selatan. Sosoknya mempunyai batang kecil namun rasanya lebih manis, sesuai dengan kriteria jenis tanaman tebu untuk kebutuhan industri saat ini.
Saat ini, di Garut Selatan sudah terdapat demplot tanaman tebu seluas 12-15 hektare dengan pertumbuhan bagus, dari tanaman tebu berbatang kecil. Tanaman tebu itu ditanam petani lokal, dengan teknis penanaman tebu secara umum.
Rencana penjajakan penanaman tebu ini akan bekerja sama dengan Pemkab Garut, dan berbagai lembaga terkait lain, terutama P3GI (Pusat Penelitian Pengembangan Gula Indonesia) di Pasuruan Jatim. Sedangkan pembangunan pabrik gula ditawarkan kepada investor, di mana sejauh ini sudah ada tiga perusahaan yang berminat, masing-masing dari Grup Artha Graha, Grup Salim, dan PT Mitras Jakarta.
Mereka menggambarkan, mampu membangun pabrik dengan kapasitas 5.000 TCD (ton cane per day).
Untuk areal lahan, direncanakan dengan sistem perkebunan inti rakyat, termasuk dengan cara tanaman tumpang sari (mix farming) pada berbagai lahan warga.
Dari potensi yang ada, diperhitungkan penanaman tebu di Garut Selatan, dapat dihasilkan produksi hablur (kristal gula) di atas 10 ton/hektare. Ini akan jauh di atas rata-rata produksi yang sudah ada di Jabar sebelumnya, misalnya di jalur Pantura yang baru mencapai rata-rata 7 ton hablur/hektare.
Dari segi pembiayaan, para petani yang berminat mengusahakan tebu di Garut Selatan, optimis cukup mendapat peluang melalui paket kredit ketahanan pangan. Mekanisme penyaluran dapat disempurnakan, agar tepat sasaran dan jumlah.
Peluang ini, tentunya jika dibandingkan dengan sistem kredit yang dilakukan para petani tebu di Cirebon. Sampai kini, tergolong lancar pengembalian dan jumlahnya mencapai miliaran rupiah.
Bahkan, penanaman tebu di Garut Selatan pun berpotensi pula meningkatkan pendapatan. Jika mengacu pada sistem lelang tebu di Cirebon, setiap produktivitas 10 ton/hektare dikalikan Rp 4.000,00 ton gula dilelang. Dapat dihitung, berapa penghasilan petani yang diperoleh pada setiap musim penanaman tebu yang memakan waktu delapan bulan.
Begitu pula bagi usaha perkebunan di Garut Selatan, akan menjadi lebih beragam dan cukup lengkap. Tanaman tebu akan dibudidayakan, bersama-sama tanaman karet, kakao, dan kelapa.
**
DARI sini, sebenarnya dapat dilakukan salah satu titik tolak, dalam kaitan pembangunan daerah Jabar bagian selatan secara umum. Apalagi, ditujang dengan rencana pembangunan infrastruktur, misalnya jalan, untuk mengejar target peningkatan kualitas dan taraf hidup sumber daya manusia.
Sejauh ini, berbagai kendala untuk memuluskan pembangunan pabrik gula di Garut Selatan tampak nyaris tak ada. Yang diperlukan, tinggal keinginan kuat pemerintah untuk menciptakan sentra baru produksi gula di Jabar, apalagi jika melihat contoh di Banten di mana pemerintah memberikan izin pembangunan tiga pabrik gula rafinasi di sana.
Mengacu kepada keterangan mantan Dirjen Bina Produksi Perkebunan Deptan, Subagyono, pemerintah segera merelokasi pabrik gula (PG) di Pulau Jawa ke luar Jawa dengan menyiapkan areal seluas 285.000 hektare di Sumatra, Kalimantan, dan Irja, yang rampung pada tahun 2010. Daerah Jabar malah justru memiliki potensi sebagai sentra produksi gula nasional yang baru, pada saat di daerah lain pabrik gula justru akan direlokasi.
Dari analisis ekonomi, memperhatikan situasi pasar gula, semakin hari terlihat semakin baik. Pada beberapa negara lain, tebu tak lagi hanya digunakan sebagai bahan baku produksi gula putih, namun pula bagi bahan bakar alternatif.
Ini dapat dikaitkan dengan Instruksi Presiden No.10 tahun 2005, untuk menghemat penggunaan bahan bakar minyak. Di masa datang, penanaman tebu di Garut bagian selatan, dapat pula mendukung produksi bahan bakar alternatif, misalnya untuk keperluan bahan bakar produksi pabrik gulanya sendiri, bahan bakar kendaraan bermotor, dll.
Dengan kata lain, pembangunan areal kebun tebu dapat merupakan salah satu alternatif bagi pemerintah dan masyarakat, dalam mengatasi persoalan suplai bahan bakar minyak. Pada suatu saat, areal tanaman tebu akan dapat sama pentingnya dengan kilang minyak, di samping sebagai sumber pemenuhan kebutuhan gula, namun dapat sama-sama sebagai sebagian sentra produksi bahan bakar.
***
Pemrosesan Tebu menjadi Etanol
Bioetanol diproduksi dari biomassa dengan proses hidrolisis dan fermentasi gula. Biomassa mengandung polimer karbohidrat berupa cellulose, hemi-cellulose, dan lignin. Untuk memproduksi gula dari biomassa, biomassa diolah menggunakan asam dan enzim. Cellulose dan hemi-cellulose terhidrolisa menjadi sukrosa, kemudian difermentasi menjadi etanol.
Fermentasi gula menjadi etanol dilakukan dengan menambah ragi (yeast). Ragi mengandung enzim invertase, yang bertindak sebagai katalis untuk mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (C6H12O6). Fruktosa dan glukosa kemudian bereaksi dengan enzim zymase yang mengubah fruktosa dan glukosa menjadi etanol dan karbon dioksida. Proses fermentasi berlangsung selama 3 hari dan berlangsung pada temperature 250-300?C. Etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi kemudian dipisahkan dari air menggunakan proses distilasi.
Untuk menghasilkan 1000 liter bioetanol, untuk setiap jenis biomassa diperlukan bahan baku sebagai berikut :
- Jagung 2300 kg
- Gandum 2800 kg
- Bit gula 10000 kg
- Tebu 13000 kg

Selasa, 16 Desember 2008

KAYU BAKAR DAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF

KAYU BAKAR DAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF
A. UMUM
Belakangan ini harga minyak dunia terus melambung tinggi bahkan sempat mencapai harga US$ 75/Barrel, sungguh suatu harga yang sangat mahal jika harga tersebut diberlakukan dipasar Indonesia. Bukan tidak mungkin jika suatu saat Indonesia menjual minyak dengan harga pasar international, jika hal itu sampai terjadi, maka bisa dipastikan masyarakat Indonesia akan mengalami kesusahan. Hal ini disebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli minyak serta kecenderungan masyarakat Indonesia yang ketergantungan dengan minyak.
Sebenarnya hal tersebut dapat dihindarkan dengan mulai mengubah pola konsumsi energi masyarakat Indonesia. Pengenalan pada berbagai jenis energi terbarukan selain minyak dan gas merupakan salah satunya. Sebenarnya Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber energi terbarukan. Berikut merupakan data potensi energi terbarukan yang ada di Indonesia (Data DESDM : Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Hijau 2003) : Energi biomasa meliputi kayu, limbah pertanian/perkebunan/hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga, kotoran hewan. Biomassa dikonversi menjadi energi dalam bentuk bahan bakar cair, gas, panas, dan listrik. Teknologi konversi biomassa menjadi bahan bakar padat, cair dan gas, antara lain teknologi pirolisa (bio-oil), esterifikasi (bio-diesel), teknologi fermentasi (bio-etanol), anaerobik digester (biogas). Dan teknologi konversi biomassa menjadi energi panas yang kemudian dapat diubah menjadi energi mekanis dan listrik, antara lain teknologi pembakaran dan gasifikasi. Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar. Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk energi tertua yang peranannya sangat besar khususnya di perdesaan. Diperkirakan kira-kira 35% dari total konsumsi energi nasional berasal dari biomassa. Energi yang dihasilkan telah digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk kebutuhan rumah tangga (memasak dan industri rumah tangga), penggerak mesin penggiling padi, pengering hasil pertanian dan industri kayu, pembangkit listrik pada industry kayu dan gula.
Luas seluruh wilayah dunia adalah kira-kira 51 milyar ha. Dari jumlah ini 36 ha merupakan lautan dan 1,5 ha tertutup es. Wilayah daratan tersisa lebih-kurang 14 ha. Dari jumlah daratan kira-kira 45% merupakan padang pasir dan rawa-rawa, 30% terdiri atas hutan, 15% berupa tanah pertanian dan perkebunan, dan 10% berupa padang rumput.
Menurut salah satu perkiraan teoretis, jumlah biomasa yang dihasilkan setahun oleh seluruh dunia mencapai 75 milyar tonne, atau suatu ekuivalensi dari 1.500 barrel minyak sehari.
Sebagaimana diketahui, biomasa, terutama dalam bentuk kayu bakar dan limbah pertanian, merupakan sumber daya energi dunia yang tertua. Di negara-negara yang telah maju, dengan berkembangnya industri, peranan biomasa sebagai sumber energi makin berkurang, dan diganti dengan energi komersial, mula-mula batu bara, kemudian minyak bumi. Pada saat ini negara-negara industri secara praktis tidak lagi mempergunakan energi energi yang berasal dari biomasa. Pola energi dari negara-negara itu boleh dikatakan terdri atas energi komersial.
Berlainan halnya adalah di negara-negara berkembang. Sekalipun banyak negara-negara berkembang yang bergerak menuju ke arah industrialisasi, secara umum dapat dikatakan bahwa di negara-negara tersebut biomasa masih merupakan komponen yang besar dalam pola pemakaian energi. Salah satu perkiran mengatakan, bahwa pemakaian energi yang berasal dari biomasa, terutama pemanfaatan kayu bakar, limbah pertanian dan tinja hewan, mencapai 60% dari seluruh komsumsi energi.

Cara Mudah Membuat Digester Biogas

Cara Mudah Membuat Digester Biogas
PENDAHULUAN
Sebagian besar penduduk Indonesia masih mengandalkan pada sektor pertanian dan peternakan untuk menggerakkan roda perekonomian. Tanpa disadari, produk-produk pertanian dan peternakan tersebut menghasilkan hasil sampingan yang belum banyak mendapatkan perhatian, bahkan dianggap sebagai sampah yang tidak dimanfaatkan. Pada umumnya, limbah tersebut dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Padahal, dari limbah pertanian dan peternakan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif, yaitu dari biomassa. Sumber-sumber energi biomassa berasal dari bahan organik. Apabila biomassa tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan energi, maka energi tersebut disebut dengan bioenergi. Salah satu bentuk bioenergi adalah biogas.

Salah satu upaya pemanfaatan limbah peternakan adalah dengan memanfaatkannya untuk menghasilkan bahan bakar dengan menggunakan teknologi biogas. Teknologi biogas memberikan peluang bagi masyarakat pedesaan yang memiliki usaha peternakan, baik individual maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari secara mandiri.
Teknologi biogas bukanlah teknologi baru. Teknologi ini telah banyak dimanfaatkan oleh petani peternak di berbagai negara, diantaranya India, Cina, bahkan Denmark. Teknologi biogas sederhana yang dikembangkan di Indonesia berfokus pada aplikasi skala kecil/menengah yang dapat dimanfaatkan masyarakat pertanian yang memiliki ternak sapi 2 – 20 ekor.
Penerapan teknologi biogas pada daerah yang memiliki peternakan dapat memberikan keuntungan ekonomis apabila dilakukan perancangan yang tepat dari segi teknis dan operasionalnya. Perancangan teknis meliputi: desain biodigester, desain penyaluran gas dan desain tangki penampung.
Perancangan operasional meliputi kemampuan operator untuk memastikan perawatan fasilitas biogas berjalan rutin dan terpenuhinya suplai bahan baku biogas setiap harinya.
Potensi biogas di Indonesia cukup melimpah, mengingat peternakan merupakan salah satu kegiatan ekonomi dalam kehidupan masyarakat pertanian. Hampir semua petani memiliki ternak antara lain sapi, kambing, dan ayam. Bahkan ada yang secara khusus mengembangkan sektor peternakan. Di antara jenis ternak tersebut, sapi merupakan penghasil kotoran yang paling besar.
Dalam rangka menjawab tuntutan tersebut, maka kami mencoba untuk menyusun tulisan sederhana ini. Tulisan ini merupakan buku sederhana yang semoga dapat menjadi pedoman dan petunjuk dalam merancang dan membangun biodigester, terutama untuk skala rumah tangga dan komunitas (peternak dan petani serta masyarakat). Semoga tulisan kecil yang kami ketengahkan ke hadapan anda semua dapat bermanfaat dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk kemandirian energi.
TENTANG BIOGAS DAN BIODIGESTER
Apakah biogas itu? Biogas merupakan gas campuran metana (CH4), karbondioksida (CO2) dan gas lainnya yang didapat dari hasil penguraian material organik seperti kotoran hewan, kotoran manusia, tumbuhan oleh bakteri pengurai metanogen pada sebuah biodigester. Jadi, Untuk menghasilkan biogas, dibutuhkan pembangkit biogas yang disebut biodigester. Proses penguraian material organik terjadi secara anaerob (tanpa oksigen). Biogas terbentuk pada hari ke 4 – 5 sesudah biodigester terisi penuh, dan mencapai puncak pada hari ke 20 – 25. Biogas yang dihasilkan oleh biodigester sebagian besar terdiri dari 50 – 70% metana (CH4), 30 – 40% karbondioksida (CO2), dan gas lainnya dalam jumlah kecil.
Ada tiga kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan biogas, yaitu:
1. Kelompok bakteri fermentatif: Steptococci, Bacteriodes, dan beberapa jenis Enterobactericeae
2. Kelompok bakteri asetogenik: Desulfovibrio
3. Kelompok bakteri metana: Mathanobacterium, Mathanobacillus, Methanosacaria, dan Methanococcus
Bakteri methanogen secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti: air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Selama beberapa tahun, masyarakat pedesaan di seluruh dunia telah menggunakan biodigester untuk mengubah limbah pertanian dan peternakan yang mereka miliki menjadi bahan bakar gas. Pada umumnya, biodigester dimanfaatkan pada skala rumah tangga. Namun tidak menutup kemungkinan untuk dimanfaatkan pada skala yang lebih besar (komunitas). Biodigester mudah untuk dibuat dan diperasikan. Beberapa keuntungan yang dimiliki oleh biodigester bagi rumah tangga dan komunitas antara lain:
• Mengurangi penggunaan bahan bakar lain (minyak tanah, kayu, dsb) oleh rumah tangga atau komunitas
• Menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi sebagai hasil sampingan
• Menjadi metode pengolahan sampah (raw waste) yang baik dan mengurangi pembuangan sampah ke lingkungan (aliran air/sungai)
• Meningkatkan kualitas udara karena mengurangi asap dan jumlah karbodioksida akibat pembakaran bahan bakar minyak/kayu bakar
• Secara ekonomi, murah dalam instalasi serta menjadi investasi yang menguntungkan dalam jangka panjang
BAGAIMANA MEMBUAT BIODIGESTER YANG OPTIMAL
Membuat biodigester gampang-gampang susah. Gampang, karena konstruksi biodigester yang sangat sederhana. Susah, karena tidak semua konstruksi biodigester menghasilkan biogas yang diinginkan. Kunci dalam pembuatan biodigester adalah pada perencanaan yang matang.
Dalam pembangunan biodigester, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
Lingkungan abiotis - Biodigester harus tetap dijaga dalam keadaan abiotis (tanpa kontak langsung dengan Oksigen (O2). Udara (O2) yang memasuki biodigester menyebabkan penurunan produksi metana, karena bakteri berkembang pada kondisi yang tidak sepenuhnya anaerob.
Temperatur - Secara umum, ada 3 rentang temperatur yang disenangi oleh bakteri, yaitu:
1. Psicrophilic (suhu 4 – 20 C) -biasanya untuk negara-negara subtropics atau beriklim dingin
2. Mesophilic (suhu 20 – 40 C)
3. Thermophilic (suhu 40 – 60 C) - hanya untuk men-digesti material, bukan untuk menghasilkan biogas
Untuk negara tropis seperti Indonesia, digunakan unheated digester (digester tanpa pemanasan) untuk kondisi temperatur tanah 20 – 30 C.
Derajat keasaman (pH) - Bakteri berkembang dengan baik pada keadaan yang agak asam (pH antara 6,6 – 7,0) dan pH tidak boleh di bawah 6,2. Karena itu, kunci utama dalam kesuksesan operasional biodigester adalah dengan menjaga agar temperatur konstan (tetap) dan input material sesuai.
Rasio C/N bahan isian - Syarat ideal untuk proses digesti adalah C/N = 25 – 30. Karena itu, untuk mendapatkan produksi biogas yang tinggi, maka penambangan bahan yang mengandung karbon (C) seperti jerami, atau N (misalnya: urea) perlu dilakukan untuk mencapai rasio C/N = 25 – 30. Berikut tabel yang menunjukkan kadar N dan rasio C/N dari beberapa jenis bahan organik.

Kebutuhan Nutrisi - Bakteri fermentasi membutuhkan beberapa bahan gizi tertentu dan sedikit logam. Kekurangan salah satu nutrisi atau bahan logam yang dibutuhkan dapat memperkecil proses produksi metana. Nutrisi yang diperlukan antara lain ammonia (NH3) sebagai sumber Nitrogen, nikel (Ni), tembaga (Cu), dan besi (Fe) dalam jumlah yang sedikit. Selain itu, fosfor dalam bentuk fosfat (PO4), magnesium (Mg) dan seng (Zn) dalam jumlah yang sedikit juga diperlukan. Tabel berikut adalah kebutuhan nutrisi bakteri fermentasi.

Kadar Bahan Kering - Tiap jenis bakteri memiliki nilai “kapasitas kebutuhan air” tersendiri. Bila kapasitasnya tepat, maka aktifitas bakteri juga akan optimal. Proses pembentukan biogas mencapai titik optimum apabila konsentrasi bahan kering terhadap air adalah 0,26 kg/L.
Pengadukan - Pengadukan dilakukan untuk mendapatkan campuran substrat yang homogen dengan ukuran partikel yang kecil. Pengadukan selama proses dekomposisi untuk mencegah terjadinya benda-benda mengapung pada permukaan cairan dan berfungsi mencampur methanogen dengan substrat. Pengadukan juga memberikan kondisi temperatur yang seragam dalam biodigester.
Zat Racun (Toxic) - Beberapa zat racun yang dapat mengganggu kinerja biodigester antara lain air sabun, detergen, creolin. Barikut adalah tabel beberapa zat beracun yang mampu diterima oleh bakteri dalam biodigester (Sddimension FAO dalam Ginting, 2006)

Pengaruh starter - Starter yang mengandung bakteri metana diperlukan untuk mempercepat proses fermentasi anaerob. Beberapa jenis starter antara lain:
1. Starter alami, yaitu lumpur aktif seperti lumpur kolam ikan, air comberan atau cairan septic tank, sludge, timbunan kotoran, dan timbunan sampah organik
2. Starter semi buatan, yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif
3. Starter buatan, yaitu bakteri yang dibiakkan secara laboratorium dengan media buatan
JENIS BIODIGESTER
Pemilihan jenis biodigester disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pembiayaan/ finansial. Dari segi konstruksi, biodigester dibedakan menjadi:
Fixed dome - Biodigester ini memiliki volume tetap sehingga produksi gas akan meningkatkan tekanan dalam reactor (biodigester). Karena itu, dalam konstruksi ini gas yang terbentuk akan segera dialirkan ke pengumpul gas di luar reaktor.
Floating dome - Pada tipe ini terdapat bagian pada konstruksi reaktor yang bisa bergerak untuk menyesuaikan dengan kenaikan tekanan reaktor. Pergerakan bagian reaktor ini juga menjadi tanda telah dimulainya produksi gas dalam reaktor biogas. Pada reaktor jenis ini, pengumpul gas berada dalam satu kesatuan dengan reaktor tersebut.
Dari segi aliran bahan baku reaktor biogas, biodigester dibedakan menjadi:
Bak (batch) - Pada tipe ini, bahan baku reaktor ditempatkan di dalam wadah (ruang tertentu) dari awal hingga selesainya proses digesti. Umumnya digunakan pada tahap eksperimen untuk mengetahui potensi gas dari limbah organik.
Mengalir (continuous) - Untuk tipe ini, aliran bahan baku masuk dan residu keluar pada selang waktu tertentu. Lama bahan baku selama dalam reaktor disebut waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT).
Sementara dari segi tata letak penempatan biodigester, dibedakan menjadi:
Seluruh biodigester di permukaan tanah - Biasanya berasal dari tong-tong bekas minyak tanah atau aspal. Kelemahan tipe ini adalah volume yang kecil, sehingga tidak mencukupi untuk kebutuhan sebuah rumah tangga (keluarga). Kelemahan lain adalah kemampuan material yang rendah untuk menahan korosi dari biogas yang dihasilkan.
Sebagian tangki biodigester di bawah permukaan tanah - Biasanya biodigester ini terbuat dari campuran semen, pasir, kerikil, dan kapur yang dibentuk seperti sumuran dan ditutup dari plat baja. Volume tangki dapat diperbesar atau diperkecil sesuai dengan kebutuhan. Kelemahan pada sistem ini adalah jika ditempatkan pada daerah yang memiliki suhu rendah (dingin), dingin yang diterima oleh plat baja merambat ke dalam bahan isian, sehingga menghambat proses produksi.
Seluruh tangki biodigester di bawah permukaan tanah - Model ini merupakan model yang paling popular di Indonesia, dimana seluruh instalasi biodigester ditanam di dalam tanah dengan konstruksi yang permanen, yang membuat suhu biodigester stabil dan mendukung perkembangan bakteri methanogen.
KOMPONEN BIODIGESTER
Komponen pada biodigester sangat bervariasi, tergantung pada jenis biodigester yang digunakan. Tetapi, secara umum biodigester terdiri dari komponen-komponen utama sebagai berikut:
1. Saluran masuk Slurry (kotoran segar) - Saluran ini digunakan untuk memasukkan slurry (campuran kotoran ternak dan air) ke dalam reaktor utama. Pencampuran ini berfungsi untuk memaksimalkan potensi biogas, memudahkan pengaliran, serta menghindari terbentuknya endapan pada saluran masuk.
2. Saluran keluar residu - Saluran ini digunakan untuk mengeluarkan kotoran yang telah difermentasi oleh bakteri. Saluran ini bekerja berdasarkan prinsip kesetimbangan tekanan hidrostatik. Residu yang keluar pertama kali merupakan slurry masukan yang pertama setelah waktu retensi. Slurry yang keluar sangat baik untuk pupuk karena mengandung kadar nutrisi yang tinggi.
3. Katup pengaman tekanan (control valve) - Katup pengaman ini digunakan sebagai pengatur tekanan gas dalam biodigester. Katup pengaman ini menggunakan prinsip pipa T. Bila tekanan gas dalam saluran gas lebih tinggi dari kolom air, maka gas akan keluar melalui pipa T, sehingga tekanan dalam biodigester akan turun.
4. Sistem pengaduk - Pengadukan dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pengadukan mekanis, sirkulasi substrat biodigester, atau sirkulasi ulang produksi biogas ke atas biodigester menggunakan pompa. Pengadukan ini bertujuan untuk mengurangi pengendapan dan meningkatkan produktifitas biodigester karena kondisi substrat yang seragam.
5. Saluran gas - Saluran gas ini disarankan terbuat dari bahan polimer untuk menghindari korosi. Untuk pembakaran gas pada tungku, pada ujung saluran pipa bisa disambung dengan pipa baja antikarat.
6. Tangki penyimpan gas - Terdapat dua jenis tangki penyimpan gas, yaitu tangki bersatu dengan unit reaktor (floating dome) dan terpisah dengan reaktor (fixed dome). Untuk tangki terpisah, konstruksi dibuat khusus sehingga tidak bocor dan tekanan yang terdapat dalam tangki seragam, serta dilengkapi H2S Removal untuk mencegah korosi.
PROSEDUR PERANCANGAN BIODIGESTER
Urutan perancangan fasilitas biodigester dimulai dengan perhitungan volume biodigester, penentuan model biodigester, perancangan tangki penyimpan dan diakhiri dengan penentuan lokasi.
Perhitungan volume biodigester
Perhitungan ini menggunakan data-data:
- Jumlah kotoran sapi per hari yang tersedia. Untuk mendapatkan jumlah kotoran sapi perhari, digunakan persamaan:
Jumlah kotoran sapi = n x 28 kg/hari
dimana n adalah jumlah sapi (ekor), 28 kg/hari adalah jumlah kotoran yang dihasilkan oleh 1 (satu) ekor sapi dalam sehari.
- Komposisi kotoran padat dari kotoran sapi. Komposisi kotoran sapi terdiri dari 80% kandungan cair dan 20% kandungan padat. Dengan demikian, untuk menentukan berat kering kotoran sapi adalah:
Bahan kering = 0,2 x Jumlah kotoran sapi
- Perbandingan komposisi kotoran padat dan air. Bahan kering yang telah diperoleh tadi harus ditambahkan air sebelum masuk biodigester agar bakteri dapat tumbuh dan berkembang dengan optimum. Perbandingan komposisi antara bahan kering dengan air adalah 1:4. Dengan demikian, jumlah air yang ditambahkan adalah:
Air yang harus ditambahkan = 4 x Bahan kering
Hasil perhitungan di atas menunjukkan massa total larutan kotoran padat (mt)
- Waktu penyimpanan (HRT) kotoran sapi dalam biodigester. Waktu penyimpanan tergantung pada temperatur lingkungan dan temperatur biodigester. Dengan kondisi tropis seperti Indonesia, asumsi waktu penyimpanan adalah 30 hari
Dari data-data perhitungan di atas, maka diperoleh volume larutan kotoran yang dihasilkan adalah sebesar:

dengan ρm = massa jenis air (1000 kg/m3).
Setelah volume larutan kotoran diketahui, maka volume biodigester dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan:

dengan tr = waktu penyimpanan (30 hari).
Penentuan Model Biodigester
Penentuan model biodigester didasari oleh beberapa pertimbangan, yaitu:
1. Jenis tanah yang akan dipakai
2. Kebutuhan
3. Biaya
Perancangan fasilitas biodigester
Penentuan lokasi fasilitas biodigester
CONTOH RENCANA ANGGARAN BIAYA BIODIGESTER

CONTOH MANAJEMEN OPERASIONAL BIODIGESTER
Analisis Energi
Volume digester yang akan dibangun adalah 2 m3, sehingga volume biogas yang dihasilkan per harinya adalah 7,92 m3 (Note - ganti nilainya sesuai keadaan di lapangan. Nilai ini untuk menghitung minyak tanah yang tergantikan (dalam liter)). Dari jumlah biogas yang dihasilkan dapat diketahui jumlah minyak tanah yang dapat terganti oleh biogas setiap harinya berdasarkan pada kesetaraan nilai kalori biogas dengan minyak tanah. Tabel disamping adalah tabel Nilai Kalori Beberapa Bahan Bakar (Suyati, 2006)
Dari tabel tersebut maka jumlah minyak tanah yang terganti tiap hari adalah sebagai berikut :

Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi dilakukan untuk mengetahui break event point atau lama waktu pengembalian biaya investasi awal yang telah dikeluarkan untuk membangun instalasi biogas.
- Pemasukan per tahun
Total produksi biogas per tahun = 365 hari x 4,3 liter x 70%
= 1.098,65 liter minyak tanah
Diasumsikan harga biogas sama dengan harga minyak tanah per liternya yaitu Rp 2.500. Total pemasukan per tahun = 1.098,65 liter x Rp 2.500/liter = Rp 2.746.625
- Pengeluaran per tahun
Tabel disamping adalah pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan untuk pengoperasian satu unit biogas per tahun.
- Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi awal
Investasi awal = Rp 4.569.000
Keuntungan per tahun = Rp 2.746.625 – Rp 1.656.900
= Rp 1.089.725
Maka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan biaya investasi awal adalah = 5,4 tahun
PENUTUP
Ditengah semakin melangitnya harga minyak mentah serta bahan bakar minyak, biogas dapat menjadi alternatif pengganti bahan bakar minyak untuk keperluan sehari-hari. Biogas merupakan salah satu energi yang dapat diperbaharui (renewable energy), dengan ketersediaan yang melimpah dan sangat dekat dengan manusia serta mudah pemanfaatannya. Semoga, tulisan singkat ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam rangka kemandirian energi rakyat serta menjamin ketersediaan energi dengan murah.
Tulisan singkat ini tidak lepas dari segala macam keterbatasan dan kekurangan. Karena itu, kami mohon kritik, saran, dan masukan kepada kami agar buku ini lebih sempurna dan bermanfaat. Kritik, saran, maupun masukan dapat dialamatkan kepada kami melalui email: kamase.care@gmail.com
REFERENSI :
• Junus, M., 1987, Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gas Bio, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
• Ludwig Sasse-Borda, 1988, Biogas Plant Manual Book, A Publication of the Deutsches Zentrum für Entwicklungstechnologien - GATE in: Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
• Suriawiria, U., 2005, Menuai Biogas dari Limbah
• Suyati, F., 2006, Perancangan Awal Instalasi Biogas Pada Kandang Terpencar Kelompok Ternak Tani Mukti Andhini Dukuh Butuh Prambanan Untuk Skala Rumah Tangga, Skripsi, Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

BIO GAS

Memproduksi Biogas dari Sanitasi Komunitas
Tidak ada perbedaan dan kesulitan yang mencolok menggunakan kotoran manusia untuk memproduksi biogas, dan tidak perlu dicampur dengan kotoran sapi atau hewan ternak lain untuk menghasilkan biogas secara efektif. Desain penampung kotoran/digester pada sistem sanitasi pada umumnya dapat menghasilkan biogas secara langsung, namun pada pandangan masyarakat umum biogas dari kotoran manusia lebih menjijikkan dari pada biogas dari kotoran sapi, kekhawatiran akan munculnya bau yang tidak sedap yang berasosiasi dengan gas yang dihasilkan adalah salah satu faktor kenapa biogas masih jarang dipakai. Padahal telah terbukti biogas yang dihasilkan dari kotoran sapi tidak menghasilkan bau dan bahkan untuk penggunaan masak sehari-hari sangat menguntungkan pemakainya.

Beberapa daerah di Indonesia masyarakat sudah memulai memanfaatkan biogas dari kotoran manusia diantaranya di daerah Salatiga, Semarang, Jakarta dan juga Malang. Pada umunya sanitasi yang bisa menghasilkan kotoran manusia yang cukup untuk digunakan memproduksi biogas adalah sanitasi umum, maupun sanitasi keluarga namun kolektor kotoran/digesternya disatukan terpusat dari beberapa sanitasi keluarga yang ada.
Secara umum tidak ada perbedaan yang mencolok antara biogas dari kotoran manusia dan kotoran hewan ternak, retention time (RT) dari kotoran manusia untuk menghasilkan biogas bervariasi dari mulai 10 hari hingga 60 hari, dan optimum proses biogas terjadi pada suhu 35 derajat celcius dan suhu ini sangat cukup tercapai dengan sistem digester kotoran yang lazim di Indonesia, yakni sistem ditanam di tanah. Mengingat kotoran manusia mengandung banyak pathogen, maka salah satu indikator penting dalam produksi biogas ini, Tabel 1. menunjukkan lama pathogen bisa hidup dalam kondisi iklim tropis pada keadaan anaerob, pathogen merupakan salah satu aspek retention time (RT)
– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:”Cambria Math”; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:”"; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:”Calibri”,”sans-serif”; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:”Times New Roman”; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:”Times New Roman”; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:”Table Normal”; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:”"; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:”Calibri”,”sans-serif”; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;} table.MsoTableGrid {mso-style-name:”Table Grid”; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-priority:59; mso-style-unhide:no; border:solid black 1.0pt; mso-border-themecolor:text1; mso-border-alt:solid black .5pt; mso-border-themecolor:text1; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-border-insideh:.5pt solid black; mso-border-insideh-themecolor:text1; mso-border-insidev:.5pt solid black; mso-border-insidev-themecolor:text1; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:”Calibri”,”sans-serif”; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
Pathogen Retention Time (Bulan)
1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 8 Bulan 10 Bulan
Enteric Viruses + + 0 0 0 0 0
Salmonellae + + 0 0 0 0 0
Shigellae + + 0 0 0 0 0
Vibrio cholera + 0 0 0 0 0 0
Path. E. coli + + 0 0 0 0 0
Leptospira 0 0 0 0 0 0 0
Entamoeba 0 0 0 0 0 0 0
Giardla + + 0 0 0 0 0
Balantidium + 0 0 0 0 0 0
Ascaris ++ ++ ++ ++ + + +
Trichurls ++ ++ + + + + 0
Hookworms + + 0 0 0 0 0
Schistosoma 0 0 0 0 0 0 0
Taenia ++ ++ ++ ++ + + +
0 Kemungkinan tereliminasi secara komplit Source : Meynel, P. J., 1980
+ Kemungkinan konsentrasinya rendah
++ Kemungkinan konsentrasinya tinggi
Pada umumnya penampung kotoran/digester dari sanitasi di masyarakat Indonesia bisa langsung digunakan untuk memproduksi biogas, karena selama ini gas yang dihasilkan dari digester biasanya hanya dibuang ke udara begitu saja lewat pipa pembuangan udara. Untuk memakainya kita bisa menyalurkan gas yang dibuang dari pipa tersebut ke gas storage, yakni dengan menambahkan penampung gas yang bisa berupa kantong plastik, sehingga bisa lebih memudahkan pemantauan kapasitas gas yang telah diproduksi.
Perhitungan produksi biogas dapat dilihat dari studi kasus yang ada di Srilanka, dengan perhitungan estimasi sebagai berikut berat kotoran yang dihasilkan 250 g per orang dan 80% berupa moisture, jadi berat keringnya adalah 50g, kemudian berat urine yang dihasilkan adalah 1.2 kg/orang. Namun asumsi lain juga diberlakukan diantaranya dalah bahwa orang dewasa laki-laki dianggap lebih sedikit mengeluarkan urine pada kakus sehingga berat urinnya menjadi hanya 0.75 kg, begitu juga untuk anak-anak umur 5-12 tahun berat kotorannya hanya 150 g dan 0.75 kg urine.
!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:”Cambria Math”; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:”"; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:”Calibri”,”sans-serif”; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:”Times New Roman”; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:”Times New Roman”; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:”Table Normal”; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:”"; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:”Calibri”,”sans-serif”; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;} table.MsoTableGrid {mso-style-name:”Table Grid”; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-priority:59; mso-style-unhide:no; border:solid black 1.0pt; mso-border-themecolor:text1; mso-border-alt:solid black .5pt; mso-border-themecolor:text1; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-border-insideh:.5pt solid black; mso-border-insideh-themecolor:text1; mso-border-insidev:.5pt solid black; mso-border-insidev-themecolor:text1; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:”Calibri”,”sans-serif”; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
Populasi Berat Kotoran (g) Berat Kering (g) Berat Urine (kg)
Dewasa Laki-laki 486 121,5 24,3 364.5
Dewasa Wanita 500 125 25 600
Anak-anak 453 68 13,6 339,8
Total 1.439 314,5 62,9 1304,3
Rata-rata/kapita/hari 250 g 44 g 0.91 kg
Berat total/kapita/hari 1.13 kg
Air yang digunakan untuk membersihkan kotoran pada tubuh 1,5 liter/kapita/hari
Air yang digunakan untuk membersihkan toilet 2,5 liter/kapita/hari
Total 5,13 kg/kapita/hari
Jika jumlah populasi menjadi 3000 orang dalam suatu komunitas yang menggunakan fasilitas sanitasi bersama maka berat kering kotoran yang dihasilkan akan menjadi 132 kg, sedangkan gas yang dihasilkan berkisar dari 45 hingga 66 meter kubik/hari. Kebutuhan memasak bagi setiap keluarga setidaknya memerlukan 2 meter kubik/hari, dengan perhitungan bahwa 1 meter kubik equivalent dengan 0,62 liter minyak tanah. Solusi yang cukup cerdas dalam menghadapi kenaikan harga harga minyak tanah, terlebih lagi dalam waktu dekat pemerintah akan melepaskan subsidi minyak tanah.
Cara Lain Menangani Polusi Akibat Kendaraan Bermotor
Berbagai program, mulai dari pemberlakuan hari tanpa berkendaraan, sampai pelarangan parkir di kota , yang kesemuanya dikenal dengan istilah “upaya mengendalikan transportasi” (”transportation control measures/TCM” ). Banyak TCM dipusatkan pada pengurangan kepadatan lalu lintas, dengan menggunakan sistem yang berkisar dari metode fisik, seperti lampu lalu lintas yang terkoordinasi, jalan satu arah, dan bermobil patungan atau jalur bus yang terpisah, sampai metode penggunaan insentif ekonomi, misalnya “tarif jalur padat” yang mengharuskan pengemudi membayar jika melalui jalan raya di saat lalu lintas padat. Termasuk penggunakan Scooter Matic kiranya dapat dijadikan sebagai alternatif pengendalian emisi kendaraan karena mengandung zero polution.

Berikut hal-hal sederhana yang dapat kita lakukan dalam upaya mengurangi beban polusi yang ada diantaranya :
Pemeriksaan dan Pemeliharaan. Program pemeriksaan dan pemeliharaan kendaraan yang dilaksanakan secara keras untuk memastikan kepatuhan masyarakat merupakan suatu pelengkap yang penting dalam penetapan standar emisi. Pengotak-atikan dan pemeliharaan yang buruk dapat dengan cepat membuat pengendalian emisi menjadi tidak efektif. Usia juga cenderung menurunkan kinerja perangkat polusi. Karena itu program untuk menghapus kendaraan tua dari jalan dengan menawarkan suatu imbalan mungkin dapat sangat mengurangi emisi kendaraan. Satu yang paling sederhana dalam hal ini lakukan servis berkala pada kendaraan dan minta lah kepada teknisi bengkel untuk mengstandarkan emisi buangan kendaraan.
Larangan Masuk. Pada tahun 1977 Buenos Aires melarang kendaraan pribadi memasuki jalan-jalan pusat keramaian kota dari pukul 10 pagi sampai 7 malam pada hari-hari kerja. Bus dan taksi diperbolehkan hanya pada beberapa jalan tertentu. Larangan ini mengatasi kepadatan lalu lintas dan pencemaran udara yang disebabkan oleh satu juta orang yang memadati pusat kota Buenos Aires setiap hari kerja. Kita sendiri telah melakukan untuk beberapa jalan melalui Kawasan 3in1.
Larangan Parkir. Larangan parkir membatasi jumlah mobil yang boleh parkir di suatu daerah, tapi tidak berpengaruh apapun pada jumlah mobil yang boleh lewat. Salah satu cara untuk mengatasi masalah yang diakibatkan oleh berlimpahnya kendaraan adalah sama sekali melarang semua kendaraan memasuki pusat-pusat kota . “Zona bebas mobil”, sebagai suatu cara untuk mengurangi pencemaran udara, menggalakkan pariwisata, dan meningkatkan kualitas kehidupan, akhir-akhir ini semakin populer di Eropa. Pengalaman yang terjadi di AS lebih terbatas; zona pembatasan mobil biasanya hanya berlaku pada daerah pariwisata atau pertokoan kecil, dan hanya berdampak kecil pada pola transportasi kota secara keseluruhan.
“Sel” Lalu Lintas. Gothenburg, Swedia, membagi pusat kotanya menjadi lima sektor berbentuk “pastel” sebagai suatu cara untuk membatasi lalu lintas yang lewat dan menggalakkan transportasi umum. Kendaraan darurat, angkutan lokal masal, sepeda dan moped dapat melintas dari satu zona ke zona lain, tapi mobil tidak dapat. Berkurangnya kepadatan di pusat kota Gothenburg telah menimbulkan layanan transit yang lebih baik dan tingkat kecelakaan yang lebih rendah. Pendekatan yang disebut “sel lalu lintas” ini, yang berasal dari Bremen, Jerman, juga digunakan di Groningen, Belanda, dan Besancon, Prancis.
Hari Tanpa Mengemudi. Pada akhir 1991, Roma, Milano, Napoli, Turino, dan tujuh kota lain di Italia mencanangkan “perang” terhadap pencemaran dengan cara membatasi jumlah mobil di jalan. Dalam peraturan ini, mobil berplat nomor ganjil dilarang berjalan di satu hari, sedang mobil berplat nomor genap dilarang berjalan hari berikutnya. Banyak pengemudi yang merasa jengkel dengan adanya kekangan dan larangan atas hak mereka untuk mengemudi, lalu mengabaikan aturan genap-ganjil ini. Dalam satu hari saja di bulan Desember, para polisi lalu lintas mencatat 12. 983 pelanggaran, menilang para pelanggar aturan yang mengemudi di hari yang salah, atau yang mengubah plat nomor kendaraan mereka. Namun demikian, dengan penggalakan peraturan secara keras, menteri lingkungan hidup Italia yakin larangan mengemudi berseling hari itu dapat mengurangi polusi sebesar 20 sampai 30 persen.
Bersepeda. Sebagai bentuk transportasi yang paling lazim di dunia, bersepeda kini mulai “naik daun”, sejalan dengan usaha pemerintah beberapa negara untuk menggalakkan bersepeda melalui program khusus. Jumlah sepeda di planet ini lebih dari 800 juta, hampir dua kali jumlah kendaraan umum, tetapi untuk lebih menggalakkan kegiatan bersepeda, negara-negara seperti Belanda, Denmark, Belgia, dan Jerman mengembangkan jaringan jalan untuk sepeda, masing-masing dengan hak guna jalan yang terpisah dari jalan mobil. Tempat parkir yang terpisah, persewaan sepeda dengan uang jaminan yang akan dikembalikan, bahkan garasi khusus sepeda, semuanya diusahakan untuk lebih menggalakkan kegiatan bersepeda. Program semacam itu mempunyai dampak amat besar terhadap cara orang melihat pilihan yang mereka miliki untuk sarana transportasi. Misalnya, kegiatan bersepeda di Erlangen , Jerman, meningkat dua kali lipat setelah jalan sepeda sepanjang 160 km selesai dibangun. Banyak kota di Cina memiliki jalan sepeda selebar lima atau enam jalur. Sesungguhnyalah, sepeda amat penting di Cina, dan pemantauan lalu lintas di kota Tianjin telah mendata lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu persimpangan jalan dalam waktu satu jam.
Jam Kerja Lentur. Selama Olimpiade Musim Panas tahun 1984, Los Angeles menggilir jam kerja, dan dengan demikian menurunkan pencemaran udara ke titik terendah selama beberapa waktu terakhir ini. Sekarang banyak kota mencari jalan untuk menghambat pencemaran udara dengan cara memulai jam kerja atau sekolah satu atau dua jam lebih awal, atau dengan mengakhirinya lebih awal, dan dengan demikian mengurangi kepadatan lalu lintas. Kota-kota lain mengusulkan empat hari kerja seminggu sebagai cara lain mengurangi kemacetan lalu lintas. Misalnya di kantor PU Los Angeles para karyawan bekerja 10 jam sehari dari Senin sampai Kamis. Pada hari Jumat seluruh gedung ditutup, dan hal ini tidak saja mengurangi asap kabut dan kemacetan, tapi juga menghemat biaya operasi 1,7 juta dollar AS setahun.
Kerja Jarak Jauh (Telecommuting). Suatu strategi lain, yaitu cara “kerja jarak jauh”, atau mengizinkan karyawan bekerja di rumah dengan menggunakan telepon dan komputer, akan mengurangi biaya tambahan kantor dan sekaligus menghemat waktu dan uang para karyawan. Para pegawai di Los Angeles berharap akan mengurangi 3 juta perjalanan ke tempat kerja dengan adanya program kerja di rumah dan kerja jarak jauh. Pusat Penelitian Masa Depan meramalkan bahwa lima juta orang Amerika memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan komputer dan dapat dikerjakan di rumah menjelang tahun 1993. Dan dari suatu studi yang dilakukan oleh Asosiasi Pemerintahan California Selatan ditemukan bahwa jika satu dari delapan karyawan memilih untuk bekerja di rumah, atau di stasiun kerja “satelit” yang dihubungkan secara elektronis dengan kantor pusat, maka kemacetan lalu lintas di jalan-jalan raya daerah tersebut dapat dikurangi hampir sepertiganya.
Teknologi Baru. Sejumlah teknologi yang lebih baru menjanjikan pengurangan emisi cukup besar bila dibandingkan dengan sistem-sistem yang ada saat ini. Dengan beroperasi menggunakan zat hidrogen, beberapa temuan mutakhir ini bahkan dapat mencapai tingkat emisi nol, atau sangat mendekati nol, sampai selisihnya tak dapat diukur dengan piranti yang ada sekarang.
Bahkan bila dioperasikan dengan bahan bakar fosilpun, seperti gas alam, temuan-temuan itu masih mampu mencapai tingkat emisi nol untuk polutan-polutan tertentu, dan mendekati nol untuk beberapa jenis polutan lain.
Teknologi sumber daya stasioner ini meliputi: turbin putar gabungan (”combined-cycle turbines”). Turbin putaran gabungan yang dihidupkan dengan pembakaran gas (”gas-fired combined-cycle turbines”) dapat membangkitkan tenaga listrik yang mengurangi pencemaran udara sebesar 50 sampai 99 persen bila dibandingkan dengan sumber-sumber pembangkit tenaga yang membakar batubara. (Dalam sistem putaran gabungan, bahan bakar digunakan untuk menjalankan dua turbin, satu mendapat daya dari gas pembakaran panas, lainnya dari uap suatu konsep yang serupa dengan penggunaan bensin untuk menghidupkan mesin mobil Anda, lalu menggunakan asap knalpotnya untuk menghidupkan mesin lain). Karena berbahan bakar gas alam, maka sistem ini tidak menghasilkan emisi sulfur dioksida atau benda partikulat. Jika sistem ini dilengkapi dengan sistem pengendali pencemaran SCR yang canggih itu, maka emisi oksida nitrogen hanya sepersepuluhnya (atau kurang) dari emisi pembangkit tenaga yang lain.
Bahayanya Pencemaran Udara
Selama kita hidup tentu membutuhkan udara untuk bernapas. Di dalam udara terkandung gas yang terdiri dari 78% nitrogen, 20% oksigen, 0,93% argon, 0,03% karbon dioksida, dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen. Gas oksigen merupakan komponen esensial bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Komposisi seperti itu merupakan udara normal dan dapat mendukung kehidupan manusia. Namun, akibat aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan, udara sering kali menurun kualitasnya. Perubahan ini dapat berupa sifat-sifat fisis maupun kimiawi. Perubahan kimiawi dapat berupa pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang terkandung dalam udara. Kondisi seperti itu lazim disebut dengan pencemaran (polusi) udara.

Menurut Isna Marifat M.Sc., Ketua Penyelenggara Segar Jakartaku, 70% pencemaran udara Jakarta disebabkan oleh kendaraan bermotor. Permasalahan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan terutama dikota-kota besar. Dan hal ini terjadi, salah satunya disebabkan tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar di Indonesia. Menurut Kepolisian Negara Republik Indonesia, Direktorat Lalu Lintas - Januari 2000, pertumbuhan tersebut berkisar 8-12% per tahun.
Secara umum definisi udara tercemar adalah perbedaan komposisi udara aktual dengan kondisi udara normal dimana komposisi udara aktual tidak mendukung kehidupan manusia. Bahan atau zat pencemaran udara sendiri dapat berbentuk gas dan partikel. Dalam bentuk gas dapat dibedakan menjadi:
• Golongan belerang (sulfur dioksida, hidrogen sulfida, sulfat aerosol)
• Golongan nitrogen (nitrogen oksida, nitrogen monoksida, amoniak, dan nitrogen dioksida)
• Golongan karbon (karbon dioksida, karbon monoksida, hidrokarbon)
• Golongan gas yang berbahaya (benzene, vinyl klorida, air raksa uap)
Sedagkan jenis pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi tiga, yaitu:
• Mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan timah
• Bahan organik yang terdiri dari ikatan hidrokarbon, klorinasi alkan, benzene
• Makhluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing.
Sementara itu, jenis pencemaran udara menurut tempat dan sumbernya dibedakan menjadi dua, yaitu:
• Pencemaran udara bebas meliputi secara alamiah (letusan gunung berapi, pembusukan, dan lain-lain) dan bersumber kegiatan manusia, misalnya berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, asap kendaraan bermotor.
• Pencemaran udara ruangan meliputi dari asap rokok, bau tidak sedap di ruangan.
Jenis parameter pencemar udara didasarkan pada baku mutu udara ambien menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, meliputi:
• Sulfur dioksida (SO2)
• Karbon monoksida (CO)
• Nitrogen dioksida (NO2)
• Ozon (O3)
• Hidro karbon (HC)
• PM 10, Partikel debu ( PM 2,5 )
• TSP (debu)
• Pb (Timah Hitam)

Pengaruh masing-masing zat pencemar udara tersebut terhadap makhluk hidup dijelaskan sbb:
Sulfur Oksida (SOx)
Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan Sulfur trioksida (SO3), yang keduanya disebut sulfur oksida (SOx). Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih, bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit khronis pada sistem pernafasan kadiovaskular.
Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Tidak seperti senyawa lain, CO mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu haemoglobin.
Nitrogen Dioksida (NO2)
NO2 bersifat racun terutama terhadap paru. Kadar NO2 yang lebih tinggi dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang percobaan dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru (edema pulmonari). Kadar NO2 sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang. Percobaan dengan pemakaian NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Ozon (O3)
Ozon merupakan salah satu zat pengoksidasi yang sangat kuat setelah fluor, oksigen dan oksigen fluorida (OF2). Meskipun di alam terdapat dalam jumlah kecil tetapi lapisan ozon sangat berguna untuk melindungi bumi dari radiasi ultraviolet (UV-B). Ozon terbentuk di udara pada ketinggian 30km dimana radiasi UV matahari dengan panjang gelombang 242 nm secara perlahan memecah molekul oksigen (O2) menjadi atom oksigen, tergantung dari jumlah molekul O2 atom-atom oksigen secara cepat membentuk ozon. Ozon menyerap radiasi sinar matahari dengan kuat di daerah panjang gelombang 240-320 nm.
Hidrokarbon (HC)
Hidrokarbon di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hidrocarbon (PAH) yang banyak dijumpai di daerah industri dan padat lalu lintas. Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Khlorin (Cl2)
Gas Khlorin ( Cl2) adalah gas berwarna hijau dengan bau sangat menyengat. Berat jenis gas khlorin 2,47 kali berat udara dan 20 kali berat gas hidrogen khlorida yang toksik. Gas khlorin sangat terkenal sebagai gas beracun yang digunakan pada perang dunia ke-1.Selain bau yang menyengat gas khlorin dapat menyebabkan iritasi pada mata saluran pernafasan. Apabila gas khlorin masuk dalam jaringan paru-paru dan bereaksi dengan ion hidrogen akan dapat membentuk asam khlorida yang bersifat sangat korosif dan menyebabkan iritasi dan peradangan. Gas khlorin juga dapat mengalami proses oksidasi dan membebaskan oksigen seperti pada proses yang terjadi di bawah ini.
Partikulat Debu (TSP)
Pada umumnya ukuran partikulat debu sekitar 5 mikron merupakan partikulat udara yang dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang lebih besar dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi.
Timah Hitam (Pb)
Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan haemoglobin, Gejala keracunan akut didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang dan gangguan penglihatan.
Solusi
• Pengujian emisi gas buang secara berkala dari setiap kendaraan yang ada di ibukota. Kendaraan yang tidak lolos uji emisi harus masuk bengkel untuk diperbaiki sehingga memenuhi standar emisi yang berlaku.Hal ini sudah berjalan di Jakarta dengan keluarnya Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 95 Tahun 2000 Tentang Pemeriksaan Emisi Dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Propinsi DKI Jakarta.
• Pemberi insentif bagi kendaraan bermotor yang memakai bahan bakar gas:
1. Keringanan pajak kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar gas berupa PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaran Bermotor). Ref. PERPU. No.21 tahun 1997
2. Pemberian keringanan pajak untuk bea-impor conversion kit, sehingga harga jualnya dapat ditekan dan terjangkau oleh masyarakat
3. Peraturan pemerintah yang mewajibkan kepada Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) untuk memasang Catalytic Converter pada setiap kendaraan baru yang sudah diproduksi
• Pembuatan Bahan Bakar Nabati (BBN). Kebijakan pemerintah untuk percepatan pembuatan BBN antara lain:
1. Peraturan Pemerintah (PP) No.5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional.
2. Instruksi Presiden (Inpres) No.1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN.
3. Keputusan Presiden (Keppres) No.10 tahun 2006 tentang Tim Nasional pengembangan BBN untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
Solusi BBN untuk transportasi adalah sebagai pengganti/subtitusi solar atau bensin. Untuk solar digunakan bio-diesel, sedangkan untuk bensin digunakan bio-ethanol. Bio-diesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati (sawit, minyak kelapa, jarak pagar,dll). Sedangkan bio-ethanol merupakan anhydrous alkohol berasal dari fermentasi tetes/nira tebu, singkong, jagung atau sagu.
Blending 10% (B10) adalah bahan bakar dengan komposisi 10% minyak nabati dan 90% minyak solar. B10 jauh lebih ramah lingkungan dan memiliki nilai cetane lebih tinggi. Angka cetane B10 sekitar 64 sehingga membuat tarikan/kinerja mesin kendaraan jauh lebih tinggi dibandingkan solar biasa. Sementara nilai opasitas (kadar asap) turun antara 10-20 persen. Penurunan juga terjadi pada kandungan sulfur pada biodiesel hasil pencampuran tersebut. (Sumber: SUARA PEMBARUAN DAILY, 28/9/04)
Referensi
• Pengembangan BBN sebagai Upaya Percepatan Pengurangan Pengangguran dan Kemiskinan presentasi TIM BUMN-ESDM-RISTEK BPPT-DEPTANDEPHUT.
• Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Pengertian Pencemaran Udara, Jakarta, 21 - 09 - 2006.
• Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Zat - zat Pencemar Udara, Jakarta, 21 - 09 - 2006.
• Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Pengendalian Pencemaran Udara, Jakarta, 21 - 09 - 2006.
• Sudrajad, Agung., Pencemaran Udara, Suatu Pendahuluan, Jakarta, 12 - 09 - 2006.
• Komisi Pemberantas Bensin Bertimbal, http://www.kpbb.org/download.html, Jakarta,12-09-2006.
Rumah Sakit dan Lingkungan Hidup

TANGGAL 22 April adalah Hari Bumi. Mungkin tidak banyak masyarakat yang tahu, dan tidak memahami apa maknanya, apa perlunya Hari Bumi bagi kita? Peringatan Hari Bumi hendaknya dapat menggugah kesadaran kita untuk turut berperan serta dalam menjaga dan melestarikan lingkungan, bagaimanapun banyaknya bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini seperti yang baru saja terjadi yaitu banjir bandang di Kabupaten Trenggalek adalah sebuah fakta nyata tentang pengabaian manusia terhadap kelestarian lingkungan. Bumi dan segala isinya merupakan ciptaan Allah SWT untuk dimanfaatkan manusia dan dijaga kelestariannya. Sehingga peran serta masyarakat, pola-pola hubungan manusia dan lingkunganlah yang menuntun ke arah mana lingkungan berkembang, lestari atau tercemar adalah mutlak urusan manusia.

Kegiatan manusia banyak sekali dampaknya terhadap kelestarian kemampuan lingkungan hidup sebagai pendukung kehidupan manusia, dalam logika yang sederhana makin banyak manusia makin banyak memerlukan daya dukung kingkungannya seperti tanah, udara, air. Tetapi biasanya aktivitas kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh manusia akan cenderung berdampak menurunkan daya dukung lingkungan, sehingga perlu kearifan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Dalam konteks di atas Rumah Sakit sebagai salah satu pelaku usaha yang kegiatannya mempunyai dampak terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL. Seharusnya AMDAL adalah dokumen yang terintegrasi dengan rencana pembangunan RS dari awal, sehingga bagaimana limbah yang dihasilkan oleh kegiatan di RS akan dikelola sudah terencana sejak awal, tetapi bagi RS yang telah berjalan dan belum memiliki AMDAL dapat menyusun AMDALnya segera.

Tidak seperti limbah industri, limbah RS dapat terdiri dari limbah infeksius dan limbah non infeksius yang tentunya memerlukan penanganan yang berbeda, limbah infeksius adalah limbah yang mengandung bakteri patogen yang berpotensi menimbulkan penyakit, apabila limbah infeksius RS tidak tertangani dengan semestinya dapat menjadi sumber penularan penyakit.

Limbah RS dapat terbagi dalam limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah padat misalnya potongan bagian tubuh manusia, residu operasi dan limbah dari dapur maupun ruangan, sedangkan limbah cair berasal dari ruang perawatan, baik bangsal penyakit menular maupun bangsal lainnya yang dapat berisi tinja (beberapa penyakit dapat ditularkan melalui tinja, seperti penyakit disentri dan diare yang disebabkan oleh bakteri E. Coli.). Limbah cair juga dihasilkan dari ruang bedah, kamar mayat, maupun dapur dan instalasi laundry, atau pencucian alat-alat

Dalam instalasi pengelolaan limbah di RS, dapat terdiri dari incenerator yaitu pengelola limbah padat, dimana limbah padat baik yang infeksius maupun non infeksius akan dibakar dalam suhu tinggi sehingga mengalami perubahan struktur dan sifat dan tidak lagi berbahaya, sehingga bisa dibuang ke lingkungan. Sedangkan pengelolaan limbah cair dapat melalui proses yang panjang, yaitu antara lain, proses chlorinisasi (penambahan bahan kimia chlor sebagai desinfektan), koagulasi (pembentukan gumpalan sehingga terpisah antara cairan dan partikel non cairan) , pengendapan, filtrasi atau penyaringan dan aerasi atau pengudaraan baru dapat dialirkan ke saluran distribusi limbah reguler. Sedangkan limbah berupa gas harus dibuang dengan cerobong asap dengan ketinggian yang dapat mencegah udara kotor yang keluar tersebut terhisap manusia yang berada di darat.

Semua fungsi pengelolaan limbah tersebut di RS dapat dilaksanakan oleh Instalasi Pengelolaan Limbah atau IPAL. Di kota besar maupun kawasan industri biasanya terdapat perusahaan pengelolaan limbah sehingga bagi industri atau pelaku usaha yang tidak memiliki IPAL sendiri, tinggal mengirim limbahnya ke perusahaan pengelola limbah dan membayarnya, beres. Tetapi pada daerah yang tidak terdapat perusahaan pengelola limbah, maka mutlak pengelolaan limbah harus dilaksanakan secara mandiri. Kita tidak menut
Pemanasan Global, Tragedi Peradaban Modern
Pada tanggal 5 Juni 2007, negara-negara seluruh dunia umumnya memperingatnya sebagai Hari Lingkungan Hidup. Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (climate change) belum menjadi mengedepan dalam kesadaran multipihak. Pemanasan global (global warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya hidup konsumtif). Tidak banyak memang yang memahami dan peduli pada isu perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam membuat kebijakan.
Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui). Penghasil terbesarnya adalah negeri-negeri industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dll. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan. Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrilisme dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara. Industri penghasil karbon terbesar di negeri berkembang seperti Indonesia adalah perusahaan tambang (migas, batubara dan yang terutama berbahan baku fosil). Selain kerusakan hutan Indonesia yang tahun ini tercatat pada rekor dunia ”Guinnes Record Of Book” sebagai negara tercepat yang rusak hutannya.
Menurut temuan Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC). Sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Sebuah lembaga dibawah PBB, tetapi kuasanya melebihi PBB. Menyatakan pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia lebih tinggi, yaitu 10. selanjutnya adalah ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 persen dan melelehnya Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas saja. Contohnya di Jawa Timur
bisa kita rasakan adalah Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki Gunung Semeru. Atau kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah daerah yang dulunya dikenal dingin tetapi sekarang tidak lagi.
Meningkatnya suhu ini, ternyata telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan; seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti malaria, demam berdarah dan diare adalah penyakit lama yang seharusnya sudah lewat dan mampu ditangani dan kini telah mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Selain itu, ratusan desa di pesisir Jatim terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, indikatornya serasa makin dekat saja jika kita tengok naiknya gelombang pasang di minggu ketiga bulan Mei 2007 kemarin. Mulai dari Pantai Kenjeran, Pantai Popoh Tulungagung, Ngeliyep Malang dan pantai lain di pulau-pulau di Indonesia.
Untuk negara-negara lain meningkatnya permukaan air laut bisa dilihat dengan makin tingginya ombak di pantai-pantai Asia dan Afrika. Apalagi hal itu di tambah dengan melelehnya gleser di gunung Himalaya Tibet dan di kutub utara. Di sinyalir oleh IPCC hal ini berkontribusi langsung meningkatkan permukaan air laut setinggi 4-6 meter. Dan jika benar-benar meleleh semuanya maka akan meningkatkan permukaan air laut setinggi 7 meter pada tahun 2012. Dan pada 30 tahun kedepan tentu ini bisa mengancam kehidupan pesisir dan kelangkaan pangan yang luar biasa, akibat berubahnya iklim yang sudah bisa kita rasakan sekarang dengan musim hujan yang makin pendek sementara kemarau semakin panjang. Hingga gagal panen selain soal hama, tetapi akibat kekuarangan air di tanaman para ibu-bapak petani banyak yang gagal.
Lantas dengan situasi sedemikian rupa apa yang dibutuhkan oleh dunia kecil “lokal” dan kita sebagai individu penghuni planet bumi? Yang dibutuhkan adalah REVOLUSI GAYA HIDUP, sebab dengan demikian akan mengurangi penggunaan energi baik listrik, bahan bakar, air yang memang menjadi sumber utama makin berkurangnya sumber kehidupan.
Selain itu perlunya melahirkan konsesus yang membawa komitmen dari semua negara untuk menegakkan keadilan iklim. Seperti yang sudah dilakukan oleh Australia yang mempunyai instrumen keadilan iklim, melalui penegakan keadilan iklim dengan membentuk pengadilan iklim. Dimana sebuah instrumen yang mengacu pada isi Protokol Kyoto yang menekankan kewajiban pada negara-negara Utara untuk membayar dari hasil pembuangan emisi karbon mereka untuk perbaikan mutu lingkungan hidup bagi negara-negara Selatan.
Dalam praktek yang lain saatnya kita mulai menggunakan energi bahan bakar alternatif yang tidak hanya dari bahan energi fosil, misalnya untuk kebutuhan memasak. Menggunakan energi biogas (gas dari kotoran ternak) seperti yang dilakukan komunitas merah putih di Kota Batu. Desentraliasasi energi memang harus dilakukan agar menghantarkan kita pada kedaulatan energi dan melepas ketergantungan pada sentralisasi energi yang pada akhirnya harganya pun makin mahal saja.
Sedangkan untuk para pengambil kebijakan harusnya mengeluarkan policy yang jelas orientasinya untuk mengurangi pemanasan global. Misalnya menetapkan jeda tebang hutan di seluruh Indonesia agar tidak mengalami kepunahan dan wilayah kita makin panas. Menghentikan pertambangan mineral dan batubara seperti di Papua, Kalimantan, Sulawesi, hal ini bisa dilakukan dengan bertahap mulai dari meninjau ulang kontrak karyanya terlebih dahulu. Selanjutnya kebijakan progressive dengan mempraktekkan secara nyata jeda tebang dan kedaulatan energi harus dilakukan jika kita tidak mau menjadi kontributor utama pemanasan global.
Iklim memang mengisi ruang hidup kita baik secara individu maupun sosial, maka tidak mungkin menegakkan keadilan iklim tanpa melibatkan kesadaran dan komitmen semua pihak. Bahwa tidak bisa dibantah, kita hidup dalam ekosistem dunia “perahu” yang sama, sehingga jika ada bagian yang bocor dan tidak seimbang, sebenarya ini merupakan ancaman bagi seluruh isi perahu dan penumpangnya. Maka merevolusi gaya hidup kita untuk tidak makin konsumtif sangat mendasar dilakukan sekarang juga oleh seluruh umat manusia. Sebab dengan begitu kita bisa menempatkan apa yang kita butuhkan bisa ditunda tidak, yang harus kita beli membawa manfaat atau tidak dan apakah yang kita beli bisa digantikan oleh barang yang lain yang ramah lingkungan?
Ini semua adalah cerminan bagi mereka yang berusaha dan sadar sepenuh hati demi keberlanjutan kehidupan sosial (sustainable society) yang berkeadilan secara sosial, budaya, ekologis dan ekonomi. Inilah tindakan nyata untuk meraih kedaulatan energi dan melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil yang sekarang telah dikuasai oleh korporasi modal. Sekarang siapapun bisa memilih, mau jadi kontributor pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dan suhu yang makin panas? Atau mau menjadi bagian dari pelaku ”penyejukan global” dengan mengubah pola konsumsi dan gaya hidup dari sekarang juga? Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Mari bertindak nyata untuk masa depan bersama.

Selasa, 02 Desember 2008

INDUSTRI DAN DAMPAKNYA
Manusia adalah komponen lingkungan alam. Beserta komponen alam lainnya, manusia hidup bersama dan mengelola lingkungan dunia. Karena manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan pikiran, peranannya dalam mengelola lingkungan sangat besar. Menggunakan ilmu dan teknologi yang di kembangkannya, manusia dapat memperoleh berbagai kemudahan dan dapat mengatur alam sesuai dengan yang diinginkannya.
Dewasa ini, akibat dari perkembangan kebudayaan manusia, ilmu dan teknologi pun semakin berkembang. Kebudayaan manusia dimulai dari kebudayaan hidup berpindah-pindah, kemudian mulai hidup menetap dan mulai mengembangkan buah pikirannya yang terus berkembang sampai sekarang ini.
Hasil kebudayaan berupa teknologi membuat manusia lupa akan tugasnya mengelola bumi. Sifat dan perilakunya semakin berubah dari zaman ke zaman. Sekarang ini manusia mulai bersifat boros, konsumtif dan cenderung merusak lingkungannya.
Lingkungan mempunyai daya dukung dan daya lenting. Daya dukung berarti kemampuan lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhan sejumlah makhluk hidup agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar didalamnya. Daya lenting berarti kemampuan untuk pulih kembali kepada keadaan setimbang. Kegiatan manusia amat berpengaruh pada peningkatan atau penurunan daya dukung maupun daya lenting lingkungan. Manusia dapat meningkatkan daya dukung lingkungan, tetapi karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas lingkungan, tidak mungkin terus ditingkatkan tanpa batas.
Kerusakan lingkungan diakibatkan oleh berbagai sebab, antara lain oleh pencemaran. Pencemaran ada yang diakibatkan oleh alam, dan ada pula yang diakibatkan oleh perbuatan manusia. Pencemaran akibat alam antara lain letusan gunung berapi. Bahan-bahan yang dikeluarkan oleh gunung berapi seperti asap dan awan panas dapat mematikan tumbuhan, hewan bahkan manusia. Lahar dan batu-batu besar dapat merubah bentuk muka bumi. Pencemaran akibat manusia adalah akibat dari aktivitas yang dilakukannya.
Lingkungan dapat dikatakan tercemar jika dimasuki atau kemasukan bahan pencemar yang dapat mengakibatkan gangguan pada mahluk hidup yang ada didalamnya. Gangguan itu ada yang segera nampak akibatnya, dan ada pula yang baru dapat dirasakan oleh keturunan berikutnya.
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia di mulai dari meningkatnya jumlah penduduk dari abad ke abad. Populasi manusia yang terus bertambah mengakibatkan kebutuhan manusia semakin bertambah pula, terutama kebutuhan dasar manusia seperti makanan, sandang dan perumahan. Bahan-bahan untuk kebutuhan itu semakin banyak yang diambil dari lingkungan.
Perkembangan IPTEK memacu industrialisasi. Untuk memenuhi kebutahan populasi yang terus meningkatkan, harus diproduksi bahan-bahan kebutuhan dalam jumlah yang besar melalui industri. Kian hari kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi. Karena itu mendorong semakin berkembangnya industri, hal ini akan menimbulkan akibat antara lain :
1. SDA yang diambil dari lingkungan semakin besar, baik macam maupun jumlahnya.
2. Industri mengeluarkan limbah yang mencemari lingkungan.
3. Populasi manusia mengeluarkan limbah juga, seperti limbah rumah tangga yang dapat mencemari lingkungan.
4. Muncul bahan-bahan sintetik yang tidak alami (Insektisida, obat-obatan, dan sebagainya) yang dapat meracuni lingkungan.
Akibat selanjutnya lingkungan semakin rusak dan mengalami pencemaran. Pencemaran lingkungan terbagi beberapa jenis, berdasarkan tempat terjadinya, yang pertama adalah pencemaran udara. Pencemaran udara disebabkan oleh asap buangan seperti CO2, SO, SO2, CFC, CO, dan asap rokok.
Gas CO2 yang berasal dari pabrik, mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar fosil dan akibat pembakaran kayu. Kadar gas CO2 yang semakin meningkat di udara tidak dapat segera di ubah menjadi oksigen oleh tumbuhan karena banyak hutan dunia yang di tebang setiap tahunnya. Ini merupakan masalah global. Bumi seperti di selimuti oleh gas dan debu pencemar. Kandungan gas CO2 yang tinggi menyebabkan cahaya matahari yang masuk ke bumi tidak dapat di pantulkan lagi ke angkasa, sehingga suhu bumi semakin memanas. Inilah yang disebut efek rumah kaca (Green House). Jika hal ini terus berlangsung, maka es di kutub akan mencair dan daerah dataran rendah akan terendam air.
Gas CO dapat membahayakan orang yang mengisapnya. Jika proses pembakaran tidak sempurna, maka akan menghasilkan karbon monoksid ( CO ). Gas CO jika terhirup akan mengganggu pernapasan. Gas ini sangat reaktif sehingga mengganggu pengingatan oksigen oleh hemoglobin dalam darah. Jika berlangsung terus menerus, dapat mengakibatkan kematian.
Gas CFC digunakan sebagai gas pengembang, karena tidak bereaks, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berbahaya. Banyak di gunakan untuk mengembangkan busa kursi, untuk AC, pendingin lemari es dan penyemprot rambut. Tetapi, ternyata ada juga keburukan dari gas ini. Gas CFC yang naik ke atas dapat mencapai stratosfer. Di stratosfer terdapat lapisan gas ozon ( O3 ), yang merupakan pelindung bumi dari pengaruh radiasi ultra violet. Radiasi ultra violet dapat mengakibatkan kematian organisme, tumbuhan menjadi kerdil, menimbulkan mutasi genetik, menyebabkan kanker kulit dan kanker mata. Jika gas CFC mencapai lapisan ozon, akan terjadi reaksi antara CFC dan ozon, sehingga lapisan ozon tersebut berlubang yang disebut lubang ozon.
Gas SO dan SO2 juga dihasilkan dari hasil pembakaran fosil. Gas ini dapat bereaksi dengan gas NO2 dan air hujan dan menyebabkan terjadinya hujan asam. Hujan ini mengakibatkan tumbuhan dan hewan-hewan tanah mati, produksi pertanian merosot, besi dan logam mudah berkarat, serta bangunan-bangunan jadi cepat.
Faktor kedua adalah pencemaran air. Pencemaran ini dapat disebabkan oleh limbah pertanian, limbah rumah tangga, limbah industri, dan penangkapan ikan dengan menggunakan racun. Pencemaran air akibat limbah, baik limbah pertanian rumah tangga, dan industri maupun akibat racun ikan sangat berbahaya. Limbah industri misalnya. Polutan industri antara lain polutan organik, polutan anorganik, polutan yang mengandung asam belerang, atau berupa suhu. Di laut sering terjadi kebocoran tanker minyak yang mengakibatkan minyak tumpah menggenangi lautan dalam jarak sampai ratusan kilometer. Ikan, terumbu karang, burung laut, dan hewan laut banyak yang mati karenanya.
Ketiga, ialah pencemaran tanah. Pencemaran ini banyak diakibatkan oleh sampah, baik yang organik maupun nonorganik. Sampah organik dapat di uraikan oleh mikroba tanah menjadi lapisan atas tanah yang di sebut tanah humus. Akan tetapi, sampah anorganik/nonorganik tidak bisa diuraikan. Bahan pencemar itu tetap utuh hingga 300 tahun yang akan datang. Zat-zat limbah yang meresap ke tanah juga tidak dapat hilang dalam jangka waktu yang lama.
Zat-zat limbah yang masuk ke tanah di serap oleh tanaman dan tetap menetap di dalam tubuh tumbuhan itu, karena tumbuhan tidak dapat menguraikannya. Limbah industri yang mengotori tanah biasanya adalah pupuk yang berlebihan dan penggunaan herbisida serta pestisida. Zat pencemar yang menetap pada tumbuhan itu, terus berpindah melalui jalur rantai makanan dan jaring-jaring makanan. Sehingga perpindahan itu menyebabkan adanya zat pencemar dalam setiap tubuh organisme yang melangsungkan proses rantai makanan. Hal ini akan menimbulkan menurunnya kualitas organisme, berupa kurangnya ketahanan terhadap gangguan dari luar. Selain pencemaran, kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh pengambilan sumber daya alam dan pemanfaatannya, serta pola pertanian. Kerusakan itu antara lain terjadinya erosi dan banjir.
Kerusakan lingkungan yang menimbulkan banyak bencana menimbulkan gagasan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kerusakan itu. Manusia berusaha melakukan penanggulangan kerusakan lingkungan dan mengadakan perbaikan terhadap kerusakan itu. Pencegahan kerusakan lingkungan dan pengusahaan kelestarian dilakukan baik oleh pemerintah maupun setiap individu. Ada 3 prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam rangka pelestarian, pencegahan, dan penanggulangan kerusakan lingkungan akibat pencemaran, yaitu secara administratif, secara teknologis, dan secara edukatif/pendidikan.
Penanggulangan secara administratif dilakukan oleh pemerintah, dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan undang-undang. Antara lain peraturan pemerintahan yang disetujui DPR tanggal 25 februari 1982. Disahkan presiden tanggal 11 Maret 1982 menjadi UU No. 4 tahun 1982 yang berisi ketentuan pengelolaan lingkungan hidup ( UULH ). Sebelum membangun pabrik atau proyek lainnya, para pengembang diharuskan melakukan analisis mengenai dampak lingkungan ( AMDAL ).Analisis dampak dari berdirinya industri tersebut tujukan kepada pengelolaan santasi secara luas terhadap lingkungan sekitarnya. Pemerintah juga mengeluarkan baku mutu lingkungan, yaitu standar yang ditetapkan untuk menentukan mutu lingkungan. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan program yang meliputi berbagai sektor dalam pembangunan berkelanjutan sehingga di harapkan pembangunan dapat berlangsung lestari dengan mempertahankan fungsi lingkungan lestari.
Penanggulangan secara teknologis, adalah dengan cara membangun unit pengolahan limbah. Misalnya unit pengolah limbah yang mengolah limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan. Jika pengolahannya menggunakan mikroba maka disebut pengolahan secara biologis dengan menggunakan bakteri pengurai limbah. Penanggulangan secara edukatif adalah dengan mengadakan kegiatan penyuluhan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya kelestarian alam.