MEMBEDAH SUHU PANAS DI INDONESIA
Oleh : M.SYARIF TJAN *)
Dalam beberapa hari belakangan ini, kita terkejut dengan media massa tentang kenaikan suhu udara yang tidak umum terjadi di Kota Surabaya. Menurut catatan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Surabaya, suhu udara di Kota Surabaya telah mencapai 450C dan akan bertahan minimal sampai akhir bulan Nopember. Kita pasti bertanya-tanya, fenomena apa ini?
Analisis dari BMG menyebutkan, kondisi seperti ini disebabkan karena pergerakan matahari dari khatulistiwa ke arah selatan melewati beberapa wilayah di Indonesia sampai beberapa derajat, sehingga secara otomatis akan menaikkan suhu di daerah-daerah tersebut. Akan tetapi, kenapa peristiwa pergeseran matahari yang berlangsung setiap tahun, dampak yang luar biasa hanya kita rasakan saat ini? Kenapa di masa lalu tidak terjadi kenaikan suhu sampai ekstrim seperti sekarang ini? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah Pemanasan Global (Global Warming).
Pemanasan Global (Global Warming)?
Pemanasan global adalah fenomena meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat akumulasi panas yang tertahan di atmosfer. Adanya pemanasan global akan diikuti oleh perubahan iklim yang berdampak pada munculnya musim panas yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu yang sangat ekstrim.
Penyebab utama pemanasan global adalah adanya efek rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca (ERK) merupakan fenomena dimana gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun tidak seluruh gelombang panjang itu dilepaskan ke angkasa luar. Sebagian dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi sehingga meningkatkan suhu di permukaan bumi.
Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang diemisikan dari berbagai kegiatan manusia, yang mampu meneruskan gelombang pendek dan mengubahnya menjadi gelombang yang lebih panjang. Selain itu, GRK juga memiliki kemampuan meneruskan sebagian gelombang panjang dan memantulkan gelombang panjang lainnya. Dalam Protokol Kyoto terdapat enam jenis GRK, yaitu karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O), methana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC).
Sebenarnya, secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak adanya atmosfer bumi dan efek inilah yang telah memungkinkan suhu bumi menjadi lebih hangat dan layak dihuni. Para ahli mengatakan tanpa adanya efek rumah kaca, suhu bumi akan 33oC lebih dingin dibandingkan saat ini. Akan tetapi, perkembangan populasi dan aktivitas manusia terutama sejak revolusi industri di pertengahan abad XIX, telah meningkatkan emisi GRK dengan laju yang sangat tinggi dan efek rumah kaca yang terjadi di atmosfer semakin kuat.
GRK dihasilkan dari beberapa kegiatan, yaitu pemanfaatan energi yang berlebihan, kerusakan hutan, serta pertanian dan peternakan. Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan iklim. Demikian pula halnya dengan kegiatan peternakan dan pertanian yang merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida.
Dampak Pemanasan Global
Mengingat perubahan iklim bersifat global, maka dampak yang ditimbulkannya pun akan bersifat global pula. Tidak ada daerah yang akan luput dari dampak perubahan iklim, perbedaannya hanya pada tingkat dampak yang dirasakan serta kemampuan untuk beradaptasi.
Dalam skala global, perubahan iklim akan mengakibatkan terjadinya pencairan lapisan es. Pencairan ini tidak hanya terjadi di daerah kutub tetapi juga di beberapa puncak gunung yang selama ini dipercaya ditutupi lapisan es abadi. Sejak dekade 1960-an, lapisan es yang menyelimuti bumi ini telah berkurang sebanyak 10 persen. Mencairnya lapisan es memberikan dampak berupa peningkatan volume air di permukaan bumi secara keseluruhan, terutama volume air laut sehingga tinggi muka air laut akan meningkat. Jika ini terjadi, dapat dibayangkan daerah pesisir akan berubah dari daratan menjadi lautan. Studi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut setinggi 10-25 cm dan diperkirakan pada tahun 2100 akan mencapai 15-95 cm.
Dengan naiknya permukaan air laut, banyak pulau kecil di Indonesia yang tenggelam. Diperkirakan sekitar 2.000 pulau akan hilang dari wilayah Indonesia. Akibatnya, nelayan yang tinggal di sepanjang pantai akan kehilangan bukan saja tempat tinggal serta infrastruktur pendukung, tetapi juga mata pencahariannya. Kenaikan air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau (mangrove), serta mengubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir. Masalah lain yang ditimbulkan adalah memburuknya kualitas air tanah di perkotaan akibat intrusi (perembesan) air laut. Intrusi air laut juga mempengaruhi kondisi sungai dan danau. Kerusakan juga akan terjadi pada banyak infrakstruktur kota akibat salinitas air laut.
Dampak perubahan iklim juga dirasakan di Indonesia. Tidak dapat disangkal lagi, karena kondisi geografis dan topografisnya, Indonesia termasuk negara yang rawan terhadap dampak perubahan iklim. Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3oC sejak tahun 1990. Dan di tahun 1998, suhu udara mencapai titik lebih tinggi, yaitu sekitar 1oC di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990. Bahkan, yang terbaru, pada bulan oktober 2008, suhu udara mencapai level 380C, tertinggi sepanjang sejarah.
Dampak lain yang diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim adalah tak menentunya pola curah hujan. Ketidakpastian musim akan mengganggu para petani dalam menjalankan kegiatannya. Bukan hanya musim tanam yang tak menentu, melainkan juga kegagalan panen akibat kemarau panjang atau hujan yang berlebih. Peningkatan intensitas hujan akan menimbulkan banjir yang kemudian menyebabkan produksi padi menurun karena sawah terendam air. Tingginya curah hujan juga mengakibatkan hilangnya lahan dan erosi tanah. Akibatnya, kerugian pada sektor pertanian mencapai US$ 6 milyar pertahun.
Sektor kehutanan pun akan menerima dampak dari perubahan iklim ini. Ketidakmampuan beberapa jenis flora dan fauna untuk beradaptasi akan mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi ekologi hutan. Spesies yang tidak mampu beradaptasi akan punah sementara spesies yang lebih kuat akan berkembang tak terkendali. Selain itu, panjang serta keringnya musim kemarau telah memacu peningkatan terjadinya kebakaran hutan.
Dampak lain dari perubahan iklim di Indonesia adalah dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada tahun 2000 kerugian akibat banjir, kebakaran hutan serta musim kemarau di Indonesia berjumlah US$ 150 milyar dan menelan korban jiwa sebanyak 690. Sementara studi yang dilakukan memperkirakan kerugian tahunan di sektor pertanian sebesar Rp. 23 milyar, di sektor pariwisata Rp. 4 milyar dan dana perbaikan infrastruktur pesisir sekitar Rp. 42 milyar.
Saatnya kita sadar!
Melihat dampak yang begitu besar, bukan tidak mungkin bangsa kita akan mengalami kehancuran yang hebat disebabkan oleh pemanasan global. Misalnya, kenaikan suhu secara ekstrim akan terjadi terus-menerus, bahkan bisa mematikan kehidupan beberapa flora dan fauna di Indonesia. Jika ini terjadi, keseimbangan ekosistem akan terganggu yang secara otomatis akan mengganggu kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita untuk menyadari akan pentingnya pelestarian alam. Sebisa mungkin kita harus bisa mereduksi pemanasan global melalui usaha-usaha yang bijaksana, seperti menghemat penggunaan energi fosil, mengurangi deforestrasi dan memperbaiki sistem pertanian dan peternakan secara terpadu, sehingga diharapkan bangsa kita bisa menjadi penyumbang terbesar di dunia dalam mereduksi GRK dan bisa menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar