Mengenai Saya

Foto saya
YOGYA -TERNATE, DIY, Indonesia
ORANGNYA SANTAI, TAMPIL APA ADANYA, SENENG YANG SIMPEL2, DAN YANG PRAKTIS AJA, KALO SOAL KEBIJAKAN SAYA ORANGNYA CUKUP CEPAT DAN TEGAS

Minggu, 07 November 2010

PEDOMAN PENENTUAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH

1
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 17 TAHUN 2009
TENTANG
PEDOMAN PENENTUAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP
DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang: a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 19 huruf e,
Pasal 22 ayat (2) huruf d, dan Pasal 25 ayat (2)
huruf d Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang
wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota harus memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
b. bahwa untuk memberikan acuan bagi para pihak
yang berkepentingan dalam menginkorporasikan
pertimbangan daya dukung lingkungan hidup
terkait penyusunan rencana tata ruang dan
evaluasi pemanfaatan ruang, diperlukan pedoman
penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam
penataan ruang wilayah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu
menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung
Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang wilayah;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
2
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG PEDOMAN PENENTUAN DAYA DUKUNG
LINGKUNGAN HIDUP DALAM PENATAAN RUANG
WILAYAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
2. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lain.
3. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
4. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
5. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budidaya.
6. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan.
7. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum
semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi, timbulan
(relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan, serta hasil
kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantap
atau mendaur.
8. Kemampuan lahan adalah karakteristik lahan yang mencakup
sifat-sifat tanah, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan
hidup lain untuk mendukung kehidupan atau kegiatan pada
suatu hamparan lahan.
9. Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu hamparan lahan untuk
pemanfaatan ruang tertentu.
3
10. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi para
pihak yang berkepentingan dalam penyusunan rencana tata ruang
dan evaluasi pemanfaatan ruang.
Pasal 3
Ruang lingkup penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam
penataan ruang yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. penentuan kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang;
b. perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan; dan
c. perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Pasal 4
(1) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi,
dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota wajib
memperhatikan daya dukung lingkungan hidup.
(2) Daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditentukan berdasarkan pedoman penentuan daya
dukung lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 22 Mei 2009
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,
ttd
Ilyas Asaad.
1
Lampiran
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor :17 Tahun 2009
Tanggal : 22 Mei 2009
PEDOMAN PENENTUAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP
DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Pemerintah harus menyusun rencana tata ruang wilayah nasional
(RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus menyusun rencana
tata ruang wilayah provinsi (RTRW provinsi), dan pemerintah
daerah kabupaten harus menyusun rencana tata ruang wilayah
kabupaten (RTRW kabupaten), dengan memperhatikan daya
dukung lingkungan hidup.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak
memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, dapat
menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti banjir,
longsor dan kekeringan.
Dalam upaya menangani permasalahan tersebut di atas, dan
dalam rangka pelaksanaan penjelasan Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu disusun
Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam
Penataan Ruang Wilayah.
Pedoman ini di samping digunakan untuk menentukan daya
dukung lingkungan hidup wilayah juga dapat dimanfaatkan untuk
melakukan evaluasi pemanfaatan ruang sehingga setiap
penggunaan lahan sesuai dengan kemampuan lahan.
II. DASAR PENENTUAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP
Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara
mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk
mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan
ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di
suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber
daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas
lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas
dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.
2
Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen,
yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas
tampung limbah (assimilative capacity) (lihat Gambar 1). Dalam
pedoman ini, telaahan daya dukung lingkungan hidup terbatas
pada kapasitas penyediaan sumber daya alam, terutama berkaitan
dengan kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan
akan lahan dan air dalam suatu ruang/wilayah.
Gambar 1 Daya Dukung Lingkungan Sebagai Dasar Pembangunan
Berkelanjutan
Oleh karena kapasitas sumber daya alam tergantung pada
kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan dan air,
penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam pedoman ini
dilakukan berdasarkan 3 (tiga) pendekatan, yaitu:
1. Kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang.
2. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan.
3. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah sesuai dengan kapasitas
lingkungan hidup dan sumber daya, alokasi pemanfaatan ruang
harus mengindahkan kemampuan lahan. Perbandingan antara
ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air di suatu wilayah
menentukan keadaan surplus atau defisit dari lahan dan air
untuk mendukung kegiatan pemanfaatan ruang.
Kualitas Hidup
Kapasitas penyediaan
Kegiatan pembangunan
Masukan Limbah/residu
Sumber daya alam Lingkungan
Kapasitas
sumber daya alam tampung limbah
Daya Dukung
Hasil
(Supportive capacity) (Assimilative capacity)
(Carrying capacity)
3
Hasil penentuan daya dukung lingkungan hidup dijadikan acuan
dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Mengingat daya
dukung lingkungan hidup tidak dapat dibatasi berdasarkan batas
wilayah administratif, penerapan rencana tata ruang harus
memperhatikan aspek keterkaitan ekologis, efektivitas dan
efisiensi pemanfaatan ruang, serta dalam pengelolaannya
memperhatikan kerja sama antar daerah.
III. METODE PENENTUAN KEMAMPUAN LAHAN UNTUK ALOKASI
PEMANFAATAN RUANG
Metode ini menjelaskan cara mengetahui alokasi pemanfaatan
ruang yang tepat berdasarkan kemampuan lahan untuk pertanian
yang dikategorikan dalam bentuk kelas dan subkelas. Dengan
metode ini dapat diketahui lahan yang sesuai untuk pertanian,
lahan yang harus dilindungi dan lahan yang dapat digunakan
untuk pemanfaatan lainnya.
Pedoman ini mengatur alokasi pemanfaatan ruang dari aspek fisik
lahan. Sedangkan aspek lainnya seperti keanekaragaman hayati,
dipertimbangkan dengan memperhatikan kriteria kawasan lindung
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
A. Klasifikasi Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang
mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan
kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan
tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke
dalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan.
Pengelompokan kemampuan lahan dilakukan untuk membantu
dalam penggunaan dan interpretasi peta tanah. Kemampuan
lahan sangat berkaitan dengan tingkat bahaya kerusakan dan
hambatan dalam mengelola lahan. Dengan demikian, apabila
tingkat bahaya/risiko kerusakan dan hambatan penggunaan
meningkat, spektrum penggunaan lahan menurun seperti yang
diilustrasikan dalam Gambar 2.
4
Gambar 2 Gambaran Hubungan Antara Kelas Kemampuan
Lahan Dengan Intensitas, Spektrum dan Hambatan
Penggunaan Tanah.
B. Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas
Lahan diklasifikasikan ke dalam 8 (delapan) kelas, yang
ditandai dengan huruf romawi I sampai dengan VIII. Dua kelas
pertama (kelas I dan kelas II) merupakan lahan yang cocok
untuk penggunaan pertanian dan 2 (dua) kelas terakhir (kelas
VII dan kelas VIII) merupakan lahan yang harus dilindungi atau
untuk fungsi konservasi. Kelas III sampai dengan kelas VI
dapat dipertimbangkan untuk berbagai pemanfaatan lainnya.
Meskipun demikian, lahan kelas III dan kelas IV masih dapat
digunakan untuk pertanian. Keterangan lebih rinci mengenai
klasifikasi kelas lahan dan penggunaannya dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas
Kelas Kriteria Penggunaan
I 1. Tidak mempunyai atau hanya sedikit
hambatan yang membatasi
penggunaannya.
2. Sesuai untuk berbagai penggunaan,
terutama pertanian.
3. Karakteristik lahannya antara lain:
topografi hampir datar - datar,
ancaman erosi kecil, kedalaman efektif
dalam, drainase baik, mudah diolah,
kapasitas menahan air baik, subur,
tidak terancam banjir.
Pertanian:
a. Tanaman pertanian
semusim.
b. Tanaman rumput.
c. Hutan dan cagar
alam.
II 1. Mempunyai beberapa hambatan atau
ancaman kerusakan yang mengurangi
pilihan penggunaannya atau
memerlukan tindakan konservasi yang
Pertanian:
a. Tanaman semusim.
b. Tanaman rumput.
c. Padang
5
sedang.
2. Pengelolaan perlu hati-hati termasuk
tindakan konservasi untuk mencegah
kerusakan.
penggembalaan.
d. Hutan produksi.
e. Hutan lindung.
f. Cagar alam.
III 1. Mempunyai beberapa hambatan yang
berat yang mengurangi pilihan
penggunaan lahan dan memerlukan
tindakan konservasi khusus dan
keduanya.
2. Mempunyai pembatas lebih berat dari
kelas II dan jika dipergunakan untuk
tanaman perlu pengelolaan tanah dan
tindakan konservasi lebih sulit
diterapkan.
3. Hambatan pada angka I membatasi
lama penggunaan bagi tanaman
semusim, waktu pengolahan, pilihan
tanaman atau kombinasi dari
pembatas tersebut.
1. Pertanian:
a. Tanaman
semusim.
b. Tanaman yang
memerlukan
pengolahan
tanah.
c. Tanaman
rumput.
d. Padang rumput.
e. Hutan produksi.
f. Hutan lindung
dan cagar alam.
2. Non-pertanian.
IV 1. Hambatan dan ancaman kerusakan
tanah lebih besar dari kelas III, dan
pilihan tanaman juga terbatas.
2. Perlu pengelolaan hati-hati untuk
tanaman semusim, tindakan
konservasi lebih sulit diterapkan.
1. Pertanian:
a. Tanaman
semusim dan
tanaman
pertanian pada
umumnya.
b. Tanaman
rumput.
c. Hutan produksi.
d. Padang
penggembalaan.
e. Hutan lindung
dan suaka alam.
2. Non-pertanian.
V 1. Tidak terancam erosi tetapi
mempunyai hambatan lain yang tidak
mudah untuk dihilangkan, sehingga
membatasi pilihan penggunaannya.
2. Mempunyai hambatan yang
membatasi pilihan macam
penggunaan dan tanaman.
3. Terletak pada topografi datar-hampir
datar tetapi sering terlanda banjir,
berbatu atau iklim yang kurang
sesuai.
1. Pertanian:
a. Tanaman
rumput.
b. Padang
penggembalaan.
c. Hutan produksi.
d. Hutan lindung
dan suaka alam.
2. Non-pertanian
VI 1. Mempunyai faktor penghambat berat
yang menyebabkan penggunaan tanah
sangat terbatas karena mempunyai
ancaman kerusakan yang tidak dapat
dihilangkan.
2. Umumnya terletak pada lereng curam,
sehingga jika dipergunakan untuk
penggembalaan dan hutan produksi
harus dikelola dengan baik untuk
menghindari erosi.
1. Pertanian:
a. Tanaman
rumput.
b. Padang
penggembalaan.
c. Hutan produksi.
d. Hutan lindung
dan cagar alam.
2. Non-pertanian.
6
VII 1. Mempunyai faktor penghambat dan
ancaman berat yang tidak dapat
dihilangkan, karena itu
pemanfaatannya harus bersifat
konservasi. Jika digunakan untuk
padang rumput atau hutan produksi
harus dilakukan pencegahan erosi
yang berat.
a. Padang rumput.
b. Hutan produksi.
VIII 1. Sebaiknya dibiarkan secara alami.
2. Pembatas dan ancaman sangat berat
dan tidak mungkin dilakukan
tindakan konservasi, sehingga perlu
dilindungi.
a. Hutan lindung.
b. Rekreasi alam.
c. Cagar alam.
C. Kemampuan Lahan dalam Tingkat Subkelas
Kemampuan lahan kategori kelas dapat dibagi ke dalam
kategori subkelas yang didasarkan pada jenis faktor
penghambat atau ancaman dalam penggunaannya. Kategori
subkelas hanya berlaku untuk kelas II sampai dengan kelas
VIII karena lahan kelas I tidak mempunyai faktor penghambat.
Kelas kemampuan lahan seperti tersebut di atas (kelas II
sampai dengan kelas VIII) dapat dirinci ke dalam subkelas
berdasarkan empat faktor penghambat, yaitu:
1. Kemiringan lereng (t)
2. Penghambat terhadap perakaran tanaman (s)
3. Tingkat erosi/bahaya erosi (e)
4. Genangan air (w)
Subkelas kemiringan lereng (t) terdapat pada lahan yang faktor
lerengnya menjadi faktor penghambat utama. Kemiringan
lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng sangat
mempengaruhi erosi, aliran permukaan dan kemudahan atau
faktor penghambat terhadap usaha pertanian sehingga dapat
menjadi petunjuk dalam penempatan lahannya ke dalam
subkelas ini.
Subkelas penghambat terhadap perakaran tanaman (s) terdapat
pada lahan yang faktor kedalaman tanah sebagai penghambat
terhadap perakaran tanaman; faktor lahan seperti tanah yang
dangkal, banyak batu-batuan, daya memegang air yang rendah,
kesuburan rendah yang sulit diperbaiki, garam dan Na yang
tinggi akan menjadi petunjuk dalam menempatkan lahan
tersebut ke dalam subkelas ini.
Subkelas tingkat erosi/bahaya erosi (e) erosi terdapat pada
lahan dimana erosi merupakan problem utama. Bahaya erosi
7
dan erosi yang telah terjadi merupakan petunjuk untuk
penempatan dalam subkelas ini.
Subkelas genangan air/kelebihan air (w) terdapat pada lahan
dimana kelebihan air merupakan faktor penghambat utama;
drainase yang buruk, air tanah yang tinggi, bahaya banjir
merupakan faktor-faktor yang digunakan untuk penentuan
subkelas ini.
Cara penamaan kelas dan subkelas dilakukan dengan
menuliskan faktor penghambat di belakang angka kelas,
contoh: lahan kelas III dengan faktor penghambat kelerengan (t)
ditulis IIIt, lahan kelas II dengan faktor penghambat erosi (e)
ditulis IIe, lahan kelas II dengan faktor penghambat drainase
(w) ditulis IIw; dan lahan kelas IV dengan faktor penghambat
perakaran tanaman karena kedalaman tanah (s) ditulis IVs.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Contoh Cara Penamaan Kelas Dan Sub Kelas Kemampuan
Lahan
D. Kemampuan Lahan pada Tingkat Unit Pengelolaan
Kategori subkelas dibagi ke dalam kategori unit pengelolaan
yang didasarkan pada intensitas faktor penghambat dalam
kategori subkelas. Dengan demikian, dalam kategori unit
pengelolaan telah diindikasikan kesamaan potensi dan
hambatan/risiko sehingga dapat dipakai untuk menentukan
tipe pengelolaan atau teknik konservasi yang dibutuhkan.
Kemampuan lahan pada tingkat unit pengelolaan memberikan
keterangan yang lebih spesifik dan detil dari subkelas. Tingkat
unit pengelolaan lahan diberi simbol dengan menambahkan
angka di belakang simbol subkelas. Angka ini menunjukkan
besarnya tingkat faktor penghambat yang ditunjukkan dalam
subkelas, misalnya IIw1, IIIe3, IVs3, dan sebagainya.
Penentuan kemampuan lahan pada tingkat unit pengelolaan
penting, terutama untuk melakukan evaluasi kecocokan
III e
Subkelas
Kelas
8
penggunaan lahan saat ini. Evaluasi kecocokan penggunaan
lahan diperlukan sebagai masukan bagi revisi rencana tata
ruang atau penggunaan lahan yang sudah ada.
Klasifikasi pada kategori unit pengelolaan memperhitungkan
faktor-faktor penghambat yang bersifat permanen atau sulit
diubah seperti tekstur tanah, lereng permukaan, drainase,
kedalaman efektif tanah, tingkat erosi yang telah terjadi, liat
masam (cat clay), batuan di atas permukaan tanah, ancaman
banjir atau genangan air yang tetap. Faktor-faktor tersebut
digolongkan berdasarkan besarnya intensitas faktor
penghambat atau ancaman, sebagai berikut:
1. Tekstur tanah
Tekstur tanah dikelompokkan ke dalam lima kelompok
sebagai berikut:
t1 = halus: liat, liat berdebu.
t2 = agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu,
lempung berliat, lempung liat berpasir.
t3 = sedang: debu, lempung berdebu, lempung.
t4 = agak kasar: lempung berpasir.
t5 = kasar: pasir berlempung, pasir.
2. Permeabilitas
Permeabilitas dikelompokkan sebagai berikut:
p1 = lambat: < 0.5 cm/jam.
p2 = agak lambat: 0.5 – 2.0 cm/jam.
p3 = sedang: 2.0 – 6.25 cm/jam.
3. Kedalaman sampai kerikil, padas, plinthite (k)
Kedalaman efektif dikelompokkan sebagai berikut:
k0 = dalam: > 90 cm.
k1 = sedang: 90-50 cm.
k2 = dangkal: 50-25 cm.
k3 = sangat dangkal: < 25 cm.
4. Lereng permukaan (l)
Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut:
l0 = (A) = 0-3% : datar.
l1 = (B) = 3-8% : landai/berombak.
l2 = (C) = 8-15% : agak miring/bergelombang.
l3 = (D) = 15-30% : miring berbukit.
l4 = (E) = 30-45% : agak curam.
l5 = (F) = 45-65% : curam.
l6 = (G) = > 65% : sangat curam.
9
5. Drainase tanah (d)
Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut:
d0 = baik: tanah mempunyai peredaran udara baik.
Seluruh profil tanah dari atas sampai lapisan bawah
berwarna terang yang seragam dan tidak terdapat
bercak-bercak.
d1 = agak baik: tanah mempunyai peredaran udara baik.
Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning,
coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas
lapisan bawah.
d2 = agak buruk: lapisan atas tanah mempunyai
peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak
berwarna kuning, kelabu, atau coklat. Terdapat
bercak-bercak pada saluran bagian lapisan bawah.
d3 = buruk: bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan)
terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu,
coklat dan kekuningan.
d4 = sangat buruk: seluruh lapisan permukaan tanah
berwarna kelabu dan tanah bawah berwarna kelabu
atau terdapat bercak-bercak kelabu, coklat dan
kekuningan.
6. Erosi (e)
Kerusakan oleh erosi dikelompokkan sebagai berikut:
e0 = tidak ada erosi.
e1 = ringan: < 25% lapisan atas hilang.
e2 = sedang: 25-75% lapisan atas hilang, < 25% lapisan
bawah hilang.
e3 = berat: > 75% lapisan atas hilang, < 25% lapisan bawah
hilang.
e4 = sangat berat: sampai lebih dari 25% lapisan bawah
hilang.
7. Faktor-faktor khusus
Faktor-faktor penghambat lain yang mungkin terjadi berupa
batu-batuan dan bahaya banjir:
a. Batuan
Bahan kasar dapat berada dalam lapisan tanah atau di
permukaan tanah. Bahan kasar yang terdapat dalam
lapisan 20 cm atau di bagian atas tanah yang berukuran
lebih besar dari 2 mm dibedakan sebagai berikut:
1). Kerikil
Kerikil merupakan bahan kasar yang berdiameter
lebih besar dari 2 mm sampai 7.5 mm jika berbentuk
10
bulat atau sampai 15 cm sumbu panjang jika
berbentuk gepeng. Kerikil di dalam lapisan 20 cm
dikelompokkan sebagai berikut:
b0 = tidak ada atau sedikit: 0-15% volume tanah.
b1 = sedang: 15-50% volume tanah.
b2 = banyak: 50-90% volume tanah.
b3 = sangat banyak: > 90 % volume tanah.
2). Batuan kecil
Batuan kecil merupakan bahan kasar atau batuan
berdiameter 7.5 cm sampai 25 cm jika berbentuk
bulat, atau sumbu panjangnya berukuran 15 cm
sampai 40 cm jika berbentuk gepeng. Banyaknya
batuan kecil dikelompokkan sebagai berikut:
b0 = tidak ada atau sedikit: 0-15% volume tanah.
b1 = sedang: 15-50% volume tanah.
b2 = banyak: 50-90% volume tanah.
b3 = sangat banyak: > 90% volume tanah.
3). Batuan lepas (stone)
Batuan lepas merupakan batuan yang bebas dan
terletak di atas permukaan tanah, berdiameter lebih
besar dari 25 cm (berbentuk bulat) atau bersumbu
memanjang lebih dari 40 cm (berbentuk gepeng).
Penyebaran batuan lepas di atas permukaan tanah
dikelompokan sebagai berikut:
b0 = tidak ada: kurang dari 0.01% luas areal.
b1 = sedikit : 0.01%-3% permukaan tanah tertutup.
b2 = sedang : 3%-15% permukaan tanah tertutup.
b3 = banyak : 15%-90% permukaan tanah tertutup.
b4 = sangat banyak: lebih dari 90% permukaan tanah
tertutup; tanah sama sekali tidak dapat
digunakan untuk produksi pertanian.
4). Batu terungkap (rock)
Batuan terungkap merupakan batuan yang tersingkap
di atas permukaan tanah, yang merupakan bagian
dari satuan besar yang terbenam di dalam tanah
(batuan tertutup).
Penyebaran batuan tertutup dikelompokkan sebagai
berikut :
b0 = tidak ada: kurang dari 2% permukaan tanah
tertutup.
b1 = sedikit : 2% - 10% permukaan tanah tertutup.
b2 = sedang : 10% - 50% permukaan tanah tertutup.
11
b3 = banyak : 50% - 90% permukaan tanah tertutup.
b4 = sangat banyak : lebih dari 90% permukaan
tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat
digarap.
b. Ancaman banjir/genangan
Ancaman banjir atau penggenangan dikelompokkan
sebagai berikut:
o0 = tidak pernah: dalam periode satu tahun tanah
tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih dari
24 jam.
o1 = kadang-kadang: banjir yang menutupi tanah lebih
dari 24 jam terjadinya tidak teratur dalam periode
kurang dari satu bulan.
o2 = selama waktu satu bulan dalam setahun tanah
secara teratur tertutup banjir untuk jangka waktu
lebih dari 24 jam.
o3 = selama waktu 2-5 bulan dalam setahun, secara
teratur selalu dilanda banjir lamanya lebih dari 24
jam.
o4 = selama waktu enam bulan atau lebih tanah selalu
dilanda banjir secara teratur yang lamanya lebih
dari 24 jam.
Kriteria klasifikasi untuk masing-masing kelas tertera
pada Tabel 2.
Tabel 2 Klasifikasi Kemampuan Lahan pada Tingkat Unit Pengelolaan
Faktor
Penghambat/Pembatas
Kelas Kemampuan Lahan
I II III IV V VI VII VIII
1. Tekstur tanah (t)
a. lapisan atas (40 cm)
b. lapisan bawah
t2/t3
t2/t3
t1/t4
t1/t4
t1/t4
t1/t4
( * )
( * )
( * )
( * )
( * )
( * )
( * )
( * )
t5
t5
2. Lereng Permukaan (%) L0 l1 l2 l3 ( * ) l4 l5 L6
3. Drainase d0/d1 d2 d3 d4 (**) ( * ) ( * ) ( * )
4. Kedalaman efektif kO kO k1 k2 ( * ) K3 ( * ) ( * )
5. Keadaan erosi eO e1 e1 e2 ( * ) e3 e4 ( * )
6. Kerikil/batuan bO bO bO b1 b2 ( * ) ( *) b3
7. Banjir o0 o1 o2 o3 o4 ( * ) ( * ) ( * )
Catatan: (*) : dapat mempunyai sebaran sifat faktor penghambat dari
kelas yang lebih rendah
(**) : permukaan tanah selalu tergenang air
12
E. Cara Penentuan Kemampuan Lahan
Penentuan kemampuan lahan terutama dilakukan untuk
perencanaan ruang atau alokasi pemanfaatan ruang.
Di bawah ini diberikan langkah penentuan kemampuan lahan:
1. Siapkan peta sebagai berikut:
a. Peta lereng
b. Peta tanah
c. Peta erosi
d. Peta drainase/genangan
Siapkan peta dengan skala yang sama. Peta yang digunakan
dapat berskala 1:250.000, 1:100.000, atau 1:50.000.
Untuk keperluan analisa dan uji silang dari data kelas dan
subkelas, diperlukan juga data/laporan yang memuat sifatsifat
biofisik wilayah, antara lain: tanah, topografi, iklim,
hujan, dan genangan/drainase.
2. Lakukan tumpang tindih (overlay) peta lereng, peta tanah,
peta erosi dan peta drainase/genangan untuk mendapatkan
peta kemampuan lahan sebagaimana tersebut pada gambar
4. Tumpang tindih dapat dilakukan dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografi (SIG) maupun secara manual.
Peta lereng
Peta tanah
Peta erosi
Peta drainase Peta Kemampuan
Lahan
Gambar 4 Diagram Alir Pembuatan Peta Kemampuan Lahan
Dalam Tingkat Kelas
13
3. Dari overlay peta, didapat kombinasi keempat parameter di
atas, sehingga dapat dilakukan identifikasi kelas lahan.
Besarnya hambatan yang ada untuk masing-masing
parameter menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas
mana lahan tersebut. Dari hasil identifikasi, dapat
dideliniasi kelas dan subkelas kemampuan lahan. Sebagai
contoh, lahan yang memiliki lereng datar dan tidak
mempunyai hambatan dari paramater lainnya masuk ke
dalam kelas I. Contoh yang lebih rinci untuk
mengidentifikasi kelas dan subkelas lahan sebagaimana
dijabarkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Contoh Identifikasi Kelas dan Subkelas Lahan
Dari contoh tabel 3 dapat disimpulkan, kelas kemampuan
lahan masuk dalam kategori Kelas III dengan faktor
penghambat kepekaan erosi (ke) dan drainase (d).
4. Apabila peta kemampuan lahan atau peta kemampuan
tanah sudah ada, akan dapat memudahkan penentuan kelas
lahan, karena sudah tidak perlu lagi dilakukan langkah
tumpang tindih (overlay) peta. Namun demikian identifikasi
dan delineasi kelas lahan tetap harus dilakukan.
F. Cara Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan
Evaluasi kesesuaian penggunaan lahan dilakukan untuk revisi
alokasi pemanfaatan ruang saat ini. Evaluasi kesesuaian
penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan
No No Sampel 1
Faktor Pembatas Data Kode
Kemampuan
Lahan
1 Kemiringan Lereng (l) 0-2 % lo I
2 Kepekaan Erosi (KE) 0,49 KE5 III
3 Tingkat Erosi (e) SR e0 I
4 Kedalaman Tanah (k) > 90 cm k0 I
5 Tekstur Tanah Atas (t)
Geluh
Berlempung t2 I
6 Tekstur Tanah Bawah (t) Lempung t1 I
7 Permeabilitas Tanah (P) Agak lambat P2 I
8 Drainase (d) Agak jelek d3 III
9 Kerikil/Batu (b) Tanpa b0 I
10 Ancaman Banjir (o)
Kadangkadang
o1 II
11 Salinitas (g) Bebas g0 I
Kelas III
Sub Kelas III ke, d
Potensi kemampuan
lahan Tinggi
14
penggunaan lahan yang ada dengan hasil analisa kemampuan
lahan yang didapat pada huruf D.
Cara melakukan evaluasi kesesuaian penggunaan lahan:
1. Siapkan peta kemampuan lahan seperti pada huruf D.
2. Siapkan peta penggunaan lahan yang berskala sama dengan
peta kemampuan lahan pada angka 1.
3. Lakukan tumpang tindih (overlay) peta kemampuan lahan
dengan peta penggunaan lahan (Gambar 4), untuk
mendapatkan satuan lahan (unit lahan) seperti
diilustrasikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Setiap satuan lahan dapat dideskripsikan sifatnya yang
berkaitan dengan faktor penghambat maupun potensinya
untuk dikembangkan pemanfaatan ruangnya dan
ditentukan kesesuaian penggunaannya (contoh pada Tabel 4
dan Tabel 5).
Peta Kemampuan Lahan Penggunaan Lahan
Gambar 5 Ilustrasi Peta Kemampuan Lahan dan Penggunaan Lahan
I II
III IV
pemukiman pertanian
hutan
15
pemukiman
pertanian
Hutan
1 2
4
3
5 6
7
8 IV ℓ2
IIIℓk1
IIℓ I
Kondisi I: Seandainya kelas kemampuan dan
Penggunaan lahan sebagai berikut:
Gambar 6 Ilustrasi Tumpang Tindih Peta Kemampuan Lahan
Dan Penggunaan Lahan Untuk Menghasilkan Satuan
Lahan Contoh Kondisi I
Tabel 4 Uraian Hasil Evaluasi Lahan untuk Contoh Kondisi I
Satuan
Lahan
Kelas
Kemampuan
Lahan
Penggunaan
Lahan
Faktor
Penghambat
Luas
(ha)
Evaluasi
Kesesuaian
1 I Permukiman. - 25 Cocok.
2 I Pertanian
sawah.
- 75 Cocok.
3 II l1 Pertanian
tegalan
jagung/padi.
Kemiringan
lereng:
landai.
180 Cocok.
4 III l2 k1 Permukiman. Kemiringan
lereng: agak
miring.
20 Cocok.
5 III l2 k1 Pertanian
tegalan
jagung/ padi.
Kemiringan
lereng: agak
miring.
180 Cocok.
6 IV l3 k2 Pertanian
sayuran.
Kemiringan
lereng: agak
miring.
110 Cocok.
7 II l1 Hutan. Kemiringan
lereng: agak
miring.
20 Cocok.
8 IV l3 k2 Hutan. Kemiringan
lereng: agak
miring.
180 Cocok.
16
Kondisi II. Seandainya kelas & penggunaan
lahannya sbb:
VII IV
III V
pemukiman
pertanian
Hutan
1 2
4
3
5
6
7
Gambar 7 Ilustrasi Tumpang Tindih Peta Kemampuan Lahan dan
Penggunaan Lahan untuk Menghasilkan Satuan Lahan Contoh
Kondisi II
Tabel 5 Uraian Hasil Evaluasi Lahan Berdasarkan Contoh Kondisi II
Satuan
Lahan
Kelas
Kemampuan
Lahan
Penggunaan
Lahan
Faktor
Penghambat
Luas
(ha)
Evaluasi
Kesesuaian
1 V o4 d5 Permukiman. Drainase sangat
buruk,
genangan terusmenerus.
60 Tidak cocok,
perlu diubah.
2 V o4 d5 Pertanian
rawa lebak.
Drainase sangat
buruk,
genangan terusmenerus.
140 Tidak cocok,
pertahankan
sebagai cagar
alam.
3 III k1 Pertanian
jagung/padi.
Kedalaman
tanah sedang
170 Cocok.
4 IV k2 Pertanian
jagung/padi.
Kedalaman
tanah dangkal.
170 Cocok.
5 VII l5 Pertanian
jagung/padi.
Kemiringan
lereng curum.
30 Tidak cocok
perlu diubah.
6 III k1 Hutan. Kedalaman
tanah sedang.
30 Cocok, dapat
diubah menjadi
lahan
pertanian
kurang intensif.
7 VII l5 Hutan. Kemiringan
lereng curam.
170 Cocok,
pertahankan
sebagai hutan.
17
4. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian, penggunaan lahan
yang tidak cocok dengan kemampuannya perlu
direkomendasikan perubahan penggunaannya, atau
diterapkan teknologi sesuai dengan syarat yang diperlukan
oleh lahan tersebut, sehingga lahan tidak rusak dan dapat
digunakan secara lestari. Lahan yang penggunaannya cocok
dengan kemampuannya tidak perlu diubah penggunaannya.
5. Penggunaan lahan hutan yang kelas kemampuannya cocok
untuk pertanian dapat diubah menjadi lahan pertanian
tetapi perubahannya harus sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Namun, apabila luas kawasan hutan di daerah tersebut
tidak mencapai 30%, penggunaan lahan hutan harus
dipertahankan.
G. Contoh Peta Lereng, Peta Tingkat Erosi, Peta Kemampuan
Lahan dan Peta Penggunaan Lahan
Berikut ini merupakan beberapa contoh peta terkait dengan
penentuan kemampuan lahan dan evaluasi kesesuaian lahan.
18
Kota Semarang
Kabupaten Semarang
Kabupaten Demak
Ungaran
Genuk
Tembalang
Pedurungan
Banyumanik
Gayamsari
Candisari
Semarang timur
Sayung
Mranggen
Semarang selatan
Semarang utara
Kalongan
Mluweh
Susukan
Meteseh
Kalikayen
Jangli
Bulusan
Rowosari
Trimulyo
Sambiroto
Jabungan
Sendangmulyo
Ngesrep
Gedawang
Pudakpayung
Kawengen
Leyanan
Mangunharjo
Genuksari
Tembalang
Kudu
Tandang
Pedalangan
Banjar dowo
Tlogomulyo
Karangroto
Terboyo kulon
Plamongansari
Gemah
Kalicari
Terboyo wetan
Palebon
Sambirejo
Kalisari
Penggaron kidul
Srondol wetan
Muktiharjo kidul
Tlogosari kulon
Sembungharjo
Kemijen
Beji
Jomblang
Bangetayu wetan
Batursari
Kramas
Tanjung mas
Jatingaleh
Penggaron lor
Karanganyar
Kedungmundu
Bangetayu kulon
Gayamsari
Wringinjajar
Muktiharjo lor
Banyumanik
Rejosari
Gebang sari
Pedurungsn kidul
Sendangguwo
Pedurungan lor
Pendurungan tengah
Tlogosari wetan
Jamus
Padangsari
Kebonbatur
Siwalan
Tambak rejo
Kaligawe
Gondoriyo
Jetaksari
Sarirejo
Lamper tengah
Pandean lamper
Sriwulan
Peterongan
Karang tempel
Mlati baru
Mlati harjo
Rejomulyo
Sayung
Bugangan
Banyumeneng
Sawahbesar
Sumurboto
Karangrejo
Karang turi
Lamper kidul
Lamper lor
Kalirejo
Kebon agung
Bandarajo
Tinjomoyo
L
A
U
T
J
A
W
A
435000
435000
440000
440000
445000
445000
450000
450000
9210000
9210000
9215000
9215000
9220000
9220000
9225000
9225000
9230000
9230000
2 0 2 4 Km
Batas DAS Babon
Batas Desa
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Jalan Propinsi
Jalan kereta
Sungai
Jalan Kabupaten
Jalan Lokal
Legenda :
Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000
Lembar Ungaran, Jatingaleh, Semarang, Sayung dan
Mranggen Nomer 1408-542, 1408-544, 1409-222, 1409-311,
dan 1408-623 Bakosurtanal 2001
Hasil analisis data sekunder.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Jakarta - Indonesia
2006
L
A
U
K A B. D E M A K
K A B. K E N D A L
K A B. S E M A R A N G
420000
420000
440000
440000
460000
460000
9220000
9220000
9240000
9240000
Kelas Lereng
Lereng I (0 - 3 %)
Lereng II (3 - 8%)
Lereng III (8 - 15%)
Lereng IV ( > 15%)
PETA LERENG DAS BABON JAWA TENGAH
Daya Dukung Lingkungan DAS BABON Jawa Tengah
Gambar 8 Contoh peta lereng
19
Kota Semarang
Kabupaten Semarang
Kabupaten Demak
Ungaran
Genuk
Tembalang
Pedurungan
Banyumanik
Gayamsari
Candisari
Semarang timur
Sayung
Mranggen
Semarang selatan
Semarang utara
Kalongan
Mluweh
Susukan
Meteseh
Kalikayen
Jangli
Bulusan
Rowosari
Trimulyo
Sambiroto
Jabungan
Sendangmulyo
Ngesrep
Gedawang
Pudakpayung
Kawengen
Leyanan
Mangunharjo
Genuksari
Tembalang
Kudu
Tandang
Pedalangan
Banjar dowo
Tlogomulyo
Karangroto
Terboyo kulon
Plamongansari
Gemah
Kalicari
Terboyo wetan
Palebon
Sambirejo
Kalisari
Penggaron kidul
Srondol wetan
Muktiharjo kidul
Tlogosari kulon
Sembungharjo
Kemijen
Beji
Jomblang
Bangetayu wetan
Batursari
Kramas
Tanjung mas
Jatingaleh
Penggaron lor
Karanganyar
Kedungmundu
Bangetayu kulon
Gayamsari
Wringinjajar
Muktiharjo lor
Banyumanik
Rejosari
Gebang sari
Pedurungsn kidul
Sendangguwo
Pedurungan lor
Pendurungan tengah
Tlogosari wetan
Jamus
Padangsari
Kebonbatur
Siwalan
Tambak rejo
Kaligawe
Gondoriyo
Jetaksari
Sarirejo
Lamper tengah
Pandean lamper
Sriwulan
Peterongan
Karang tempel
Mlati baru
Mlati harjo
Rejomulyo
Sayung
Bugangan
Banyumeneng
Sawahbesar
Sumurboto
Karangrejo
Karang turi
Lamper kidul
Lamper lor
Kalirejo
Kebon agung
Bandarajo
Tinjomoyo
L
A
U
T
J
A
W
A
435000
435000
440000
440000
445000
445000
450000
450000
9210000
9210000
9215000
9215000
9220000
9220000
9225000
9225000
9230000
9230000
2 0 2 4 Km
Batas DAS Babon
Batas Desa
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Jalan Propinsi
Jalan kereta
Sungai
Jalan Kabupaten
Jalan Lokal
Legenda :
Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000
Lembar Ungaran, Jatingaleh, Semarang, Sayung dan
Mranggen Nomer 1408-542, 1408-544, 1409-222, 1409-311,
dan 1408-623 Bakosurtanal 2001
Hasil analisis data sekunder.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Jakarta - Indonesia
2006
L
A
U
K A B. D E M A K
K A B. K E N D A L
K A B. S E M A R A N G
420000
420000
440000
440000
460000
460000
9220000
9220000
9240000
9240000
Berat
Rendah
Sangat berat
Sangat rendah
Sedang
Tingkat Bahaya Erosi
PETA TINGKAT BAHAYA EROSI
DAS BABON JAWA TENGAH
Daya Dukung Lingkungan DAS BABON Jawa Tengah
Gambar 9 Contoh peta tingkat bahaya erosi
20
Kota Semarang
Kabupaten Semarang
Kabupaten Demak
Ungaran
Genuk
Tembalang
Pedurungan
Banyumanik
Gayamsari
Candisari
Semarang timur
Sayung
Mranggen
Semarang selatan
Semarang utara
Kalongan
Mluweh
Susukan
Meteseh
Kalikayen
Jangli
Bulusan
Rowosari
Trimulyo
Sambiroto
Jabungan
Sendangmulyo
Ngesrep
Gedawang
Pudakpayung
Kawengen
Leyanan
Mangunharjo
Genuksari
Tembalang
Kudu
Tandang
Pedalangan
Banjar dowo
Tlogomulyo
Karangroto
Terboyo kulon
Plamongansari
Gemah
Kalicari
Terboyo wetan
Palebon
Sambirejo
Kalisari
Penggaron kidul
Srondol wetan
Muktiharjo kidul
Tlogosari kulon
Sembungharjo
Kemijen
Beji
Jomblang
Bangetayu wetan
Batursari
Kramas
Tanjung mas
Jatingaleh
Penggaron lor
Karanganyar
Kedungmundu
Bangetayu kulon
Gayamsari
Wringinjajar
Muktiharjo lor
Banyumanik
Rejosari
Gebang sari
Pedurungsn kidul
Sendangguwo
Pedurungan lor
Pendurungan tengah
Tlogosari wetan
Jamus
Padangsari
Kebonbatur
Siwalan
Tambak rejo
Kaligawe
Gondoriyo
Jetaksari
Sarirejo
Lamper tengah
Pandean lamper
Sriwulan
Peterongan
Karang tempel
Mlati baru
Mlati harjo
Rejomulyo
Sayung
Bugangan
Banyumeneng
Sawahbesar
Sumurboto
Karangrejo
Karang turi
Lamper kidul
Lamper lor
Kalirejo
Kebon agung
Bandarajo
Tinjomoyo
L
A
U
T
J
A
W
A
435000
435000
440000
440000
445000
445000
450000
450000
9210000
9210000
9215000
9215000
9220000
9220000
9225000
9225000
9230000
9230000
2 0 2 4 Km
Batas DAS Babon
Batas Desa
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Jalan Propinsi
Jalan kereta
Sungai
Jalan Kabupaten
Jalan Lokal
Legenda :
Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000
Lembar Ungaran, Jatingaleh, Semarang, Sayung dan
Mranggen Nomer 1408-542, 1408-544, 1409-222, 1409-311,
dan 1408-623 Bakosurtanal 2001
Hasil analisis data sekunder.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Jakarta - Indonesia
2006
L
A
U
K A B. D E M A K
K A B. K E N D A L
K A B. S E M A R A N G
420000
420000
440000
440000
460000
460000
9220000
9220000
9240000
9240000
PETA KEMAMPUAN LAHAN
DAS BABON JAWA TENGAH
Daya Dukung Lingkungan DAS BABON Jawa Tengah
Kemampuan Lahan
II e
II ke
II ke, d
III d
III e
III ke, d
III p, d
IV o
VI e
VI l
VII e
Gambar 10 Contoh peta kemampuan lahan
21
Kota Semarang
Kabupaten Semarang
Kabupaten Demak
Ungaran
Genuk
Tembalang
Pedurungan
Banyumanik
Gayamsari
Candisari
Semarang timur
Sayung
Mranggen
Semarang selatan
Semarang utara
Kalongan
Mluweh
Susukan
Meteseh
Kalikayen
Jangli
Bulusan
Rowosari
Trimulyo
Sambiroto
Jabungan
Sendangmulyo
Ngesrep
Gedawang
Pudakpayung
Kawengen
Leyanan
Mangunharjo
Genuksari
Tembalang
Kudu
Tandang
Pedalangan
Banjar dowo
Tlogomulyo
Karangroto
Terboyo kulon
Plamongansari
Gemah
Kalicari
Terboyo wetan
Palebon
Sambirejo
Kalisari
Penggaron kidul
Srondol wetan
Muktiharjo kidul
Tlogosari kulon
Sembungharjo
Kemijen
Beji
Jomblang
Bangetayu wetan
Batursari
Kramas
Tanjung mas
Jatingaleh
Penggaron lor
Karanganyar
Kedungmundu
Bangetayu kulon
Gayamsari
Wringinjajar
Muktiharjo lor
Banyumanik
Rejosari
Gebang sari
Pedurungsn kidul
Sendangguwo
Pedurungan lor
Pendurungan tengah
Tlogosari wetan
Jamus
Padangsari
Kebonbatur
Siwalan
Tambak rejo
Kaligawe
Gondoriyo
Jetaksari
Sarirejo
Lamper tengah
Pandean lamper
Sriwulan
Peterongan
Karang tempel
Mlati baru
Mlati harjo
Rejomulyo
Sayung
Bugangan
Banyumeneng
Sawahbesar
Sumurboto
Karangrejo
Karang turi
Lamper kidul
Lamper lor
Kalirejo
Kebon agung
Bandarajo
Tinjomoyo
L
A
U
T
J
A
W
A
435000
435000
440000
440000
445000
445000
450000
450000
9210000
9210000
9215000
9215000
9220000
9220000
9225000
9225000
9230000
9230000
2 0 2 4 Km
Batas DAS Babon
Batas Desa
Batas Kecamatan
Batas Kabupaten
Jalan Propinsi
Jalan kereta
Sungai
Jalan Kabupaten
Jalan Lokal
Legenda :
Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000
Lembar Ungaran, Jatingaleh, Semarang, Sayung dan
Mranggen Nomer 1408-542, 1408-544, 1409-222, 1409-311,
dan 1408-623 Bakosurtanal 2001
Hasil analisis data sekunder.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Jakarta - Indonesia
2006
L
A
U
K A B. D E M A K
K A B. K E N D A L
K A B. S E M A R A N G
420000
420000
440000
440000
460000
460000
9220000
9220000
9240000
9240000
Penggunaan Lahan
Belukar
Danau
Empang
Hutan rawa
Industri
Kebun
Permukiman
Tambak garam
Rawa
Sawah
Sawah tadah hujan
Tegalan/ Ladang
PETA PENGGUNAAN LAHAN
DAS BABON JAWA TENGAH
Daya Dukung Lingkungan DAS BABON Jawa Tengah
Gambar 11 Contoh peta penggunaan lahan
22
H. Penjelasan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penentuan kemampuan lahan dan
evaluasi kesesuaian lahan bisa didapat dari beberapa sumber
sebagai berikut:
Tabel 6 Jenis dan Sumber Data
Jenis Data Sumber Data
Pusat Provinsi Kabupaten/
Kota
Peta lereng, peta
tanah, peta erosi dan
peta drainase
Bakosurtanal atau Puslit Tanah Departemen
Pertanian
Peta kemampuan
lahan
Bakosurtanal atau Badan Pertanahan
Nasional (BPN) atau Puslit Tanah Departemen
Pertanian
Peta penggunaan
lahan
LAPAN, Bappeda Provinsi dan
Kabupaten/Kota, Bakosurtanal
IV. METODE PERBANDINGAN KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN
LAHAN
Dalam Bab IV ini dijelaskan cara mengetahui daya dukung lahan
berdasarkan perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan
lahan bagi penduduk yang hidup di suatu wilayah. Dengan metode
ini dapat diketahui gambaran umum apakah daya dukung lahan
suatu wilayah dalam keadaan surplus atau defisit. Keadaan
surplus menunjukkan bahwa ketersediaan lahan setempat di
suatu wilayah masih dapat mencukupi kebutuhan akan produksi
hayati di wilayah tersebut, sedangkan keadaan defisit
menunjukkan bahwa ketersediaan lahan setempat sudah tidak
dapat memenuhi kebutuhan akan produksi hayati di wilayah
tersebut.
Hasil perhitungan dengan metode ini dapat dijadikan bahan
masukan/pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang
dan evaluasi pemanfaatan ruang, terkait dengan penyediaan
produk hayati secara berkelanjutan melalui upaya pemanfaatan
ruang yang menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
A. Pendekatan Penghitungan
Penentuan daya dukung lahan dilakukan dengan
membandingkan ketersediaan dan kebutuhan lahan seperti
digambarkan dalam diagram di bawah ini.
23
Gambar 12 Diagram Penentuan Daya Dukung Lahan
Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi
aktual setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan
menjumlahkan produk dari semua komoditas yang ada di
wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini digunakan harga
sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki
satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan
dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak.
B. Cara Penghitungan
Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Penghitungan Ketersediaan (Supply) Lahan
Rumus:
Σ (Pi x Hi) 1
SL =___________ X ____ (1)
Hb Ptvb
Keterangan:
SL = Ketersediaan lahan (ha)
Pi = Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan tergantung
kepada jenis komoditas)
Komoditas yang diperhitungan meliputi pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.
Hi = Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/satuan) di
tingkat produsen
Hb = Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen
Ptvb= Produktivitas beras (kg/ha)
Dalam penghitungan ini, faktor konversi yang digunakan
untuk menyetarakan produk non beras dengan beras adalah
harga.
Ketersediaan
lahan
Kebutuhan
lahan
Kebutuhan lahan per
orang yang
diasumsikan setara
dengan luas lahan
untuk menghasilkan 1
ton setara beras/tahun Daya Dukung Lahan
Total produksi
aktual seluruh
komoditas setempat
Populasi penduduk
24
Untuk memudahkan penghitungan, dapat digunakan contoh
tabel berikut ini dalam menghitung total nilai produksi {Σ (Pi
x Hi) }.
Tabel 7 Contoh Penghitungan Nilai Produksi Total
No Komoditas Produksi
(Pi)
Harga satuan
(Hi)
Nilai produksi
(Pi x Hi)
1 Padi dan palawija, antara
lain:
a. Padi.
b. Jagung.
2 Buah-buahan, antara
lain:
a. Mangga.
b. Jeruk.
3 Sayur mayur, antara lain:
a. Bawang merah.
b. Bawang putih.
4 Tanaman obat-obatan
antara lain:
a. Jahe.
b. Lengkuas.
5 Produksi daging, antara
lain:
a. Sapi.
b. Kambing.
6 Produksi telur, antara
lain:
a. Ayam kampung.
b. Ayam ras.
7 Produksi susu, antara
lain:
Sapi
8 Perikanan
9 Perkebunan, antara lain:
a. Kelapa.
b. Kopi.
10 Kehutanan:
a. Kayu.
b. Non kayu.
TOTAL {Σ (Pi x Hi) }
2. Penghitungan Kebutuhan (Demand) Lahan
Rumus:
DL = N x KHLL (2)
Keterangan:
DL = Total kebutuhan lahan setara beras (ha)
N = Jumlah penduduk (orang)
KHLL = Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan
hidup layak per penduduk:
25
a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan
hidup layak per penduduk merupakan
kebutuhan hidup layak per penduduk dibagi
produktifitas beras lokal.
b. Kebutuhan hidup layak per penduduk
diasumsikan sebesar 1 ton setara beras/kapita/
tahun.
c. Daerah yang tidak memiliki data produktivitas
beras lokal, dapat menggunaan data rata-rata
produktivitas beras nasional sebesar 2400
kg/ha/tahun.
3. Penentuan Status Daya Dukung Lahan
Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan
antara ketersediaan lahan ( SL ) dan kebutuhan lahan (DL) .
Bila SL > DL , daya dukung lahan dinyatakan surplus.
Bila SL < DL, daya dukung lahan dinyatakan defisit atau
terlampaui.
C. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penghitungan perbandingan
kebutuhan dan ketersediaan lahan berasal dari beberapa
sumber data, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Jenis dan Sumber Data
Jenis Data Sumber Data
Pusat Provinsi Kabupaten/
Kota
Jumlah
penduduk (N)
Data hasil susenas atau sensus penduduk BPS dalam
Buku Daerah Dalam Angka
Produksi
padi/beras
(padi/beras)
BPS Pusat:
• Subdit Statistik
Tanaman
Pangan
• Direktorat
Statistik
Pertanian
Daerah dalam
Angka (DDA)
Untuk
Kabupaten:
• DDA
Untuk Kota:
• Dinas terkait
Produksi non
padi (non padi)
Statistik sektoral:
• Daerah dalam
angka
• Statistik
pertanian
• Statistik
perkebunan
• Statitik
perikanan
• Data hortikultura di dinas
pertanian setempat
• Data perkebunan di dinas
terkait setempat
26
• Statistik
peternakan
• Statistik
kehutanan
Harga beras
(Hb)
Statistik harga
Produsen
Statistik harga produsen (harga di
tingkat petani atau di lokasi
sumber komoditas)
Harga: (Hi) Statistik harga
produsen
(secara prinsip
menggunakan data
harga produsen,
tergantung pada
jenis komoditi
lokal)
Statistik
harga
produsen
Di kabupaten:
- Statistik Harga
Produsen di BPS
setempat
Di kota:
- Statistik dinas
terkait lokal
jika tidak ada
data harga
produsen
wilayah tersebut,
bisa digunakan
harga produsen
wilayah di
dekatnya, atau
bisa didekati
dengan harga
pedagang besar.
V. METODE PERBANDINGAN KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN
AIR
Metode ini menunjukan cara penghitungan daya dukung air di
suatu wilayah, dengan mempertimbangkan ketersediaan dan
kebutuhan akan sumber daya air bagi penduduk yang hidup di
wilayah itu. Dengan metode ini, dapat diketahui secara umum
apakah sumber daya air di suatu wilayah dalam keadaan surplus
atau defisit. Keadaan surplus menunjukkan bahwa ketersediaan
air di suatu wilayah tercukupi, sedangkan keadaan defisit
menunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak dapat memenuhi
kebutuhan akan air. Guna memenuhi kebutuhan air, fungsi
lingkungan yang terkait dengan sistem tata air harus dilestarikan.
Hasil perhitungan dengan metode ini dapat dijadikan bahan
masukan/pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang
dan evaluasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyediaan
sumber daya air yang berkelanjutan.
A. Pendekatan Penghitungan
Penentuan daya dukung air dilakukan dengan membandingkan
ketersediaan dan kebutuhan air seperti pada gambar 13 di
bawah ini.
27
Gambar 13 Diagram Penentuan Daya Dukung Air
Ketersediaan air ditentukan dengan menggunakan metode
koefisien limpasan berdasarkan informasi penggunaan lahan
serta data curah hujan tahunan. Sementara itu, kebutuhan air
dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak.
B. Cara Penghitungan
Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Penghitungan Ketersediaan (Supply) Air
Perhitungan dengan menggunakan Metode Koefisien
Limpasan yang dimodifikasi dari metode rasional.
Rumus:
C = ∑ (ci x Ai) / ∑Ai (3)
R = ∑ Ri / m (4)
SA = 10 x C x R x A (5)
Keterangan:
SA = ketersediaan air (m3/tahun)
C = koefisien limpasan tertimbang
Ci = Koefisien limpasan penggunaan lahan i (lihat Tabel 9)
Ai = luas penggunaan lahan i (ha) dari data BPS atau Daerah
Dalam Angka, atau dari data Badan Pertanahan
Nasional (BPN)
R = rata-rata aljabar curah hujan tahunan wilayah
(mm/tahunan) dari data BPS atau BMG atau dinas
terkait setempat.
Ri = curah hujan tahunan pada stasiun i
m = jumlah stasiun pengamatan curah hujan
A = luas wilayah (ha)
10 = faktor konversi dari mm.ha menjadi m3
Ketersediaan
Air
Kebutuhan
Air
Kebutuhan air per
orang berdasarkan
pola konsumsi
Luas setiap jenis
penggunaan lahan
Daya Dukung Air
Populasi penduduk
Koefisien limpasan
untuk setiap jenis
penggunaan lahan
28
Tabel 9 Koefisien Limpasan
No. Deskripsi permukaan Ci
1. Kota, jalan aspal, atap genteng 0,7 – 0,9
2. Kawasan industri 0,5 – 0,9
3. Pemukiman multi unit, pertokoan 0,6 – 0,7
4. Kompleks perumahan 0,4 – 0,6
5. Villa 0,3 – 0,5
6. Taman, pemakaman 0,1 – 0,3
7.
Pekarangan tanah berat:
a. > 7 %
b. 2 – 7%
c. < 2%
0,25 – 0,35
0,18 – 0,22
0,13 – 0,17
8.
Pekarangan tanah ringan:
a. > 7 %
b. 2 – 7%
c. < 2%
0,15 – 0,2
0,10 - 0,15
0,05 – 0,10
9. Lahan berat 0,40
10. Padang rumput 0,35
11. Lahan budidaya pertanian 0,30
12. Hutan produksi 0,18
Untuk memudahkan, penghitungan koefisien limpasan
tertimbang dapat menggunakan tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10 Contoh Penghitungan Koefisien Limpasan
Tertimbang
No. Deskripsi permukaan
Koefisien
Limpasan
(Ci)
Luas
Lahan
(Ai)
(Ci XAi)
1.
Kota, jalan aspal, atap
genteng
0,7 – 0,9
2. Kawasan industri 0,5 – 0,9
3.
Permukiman multi unit,
pertokoan
0,6 – 0,7
4. Kompleks perumahan 0,4 – 0,6
5. Villa 0,3 – 0,5
6. Taman, pemakaman 0,1 – 0,3
7.
Pekarangan tanah berat:
a. > 7 %
b. 2 – 7%
c. < 2%
0,25 – 0,35
0,18 – 0,22
0,13 – 0,17
8.
Pekarangan tanah ringan:
a. > 7 %
b. 2 – 7%
c. < 2%
0,15 – 0,2
0,10 - 0,15
0,05 - 0,10
9. Lahan berat 0,40
10. Padang rumput 0,35
11. Lahan budidaya pertanian 0,30
12. Hutan produksi 0,18
Σ(Ai) Σ(Ci XAi)
C (koefisien limpasan
tertimbang)
Σ(Ci XAi) /
Σ(Ai)
29
2. Penghitungan Kebutuhan (Demand) Air
Rumus:
DA = N x KHLA (6)
Keterangan:
DA = Total kebutuhan air (m3 /tahun)
N = Jumlah penduduk (orang)
KHLA = Kebutuhan air untuk hidup layak
= 1600 m3 air/kapita/tahun,
= 2 x 800 m3 air/kapita/tahun, dimana:
800 m3 air/kapita/tahun merupakan kebutuhan
air untuk keperluan domestik dan untuk
menghasilkan pangan (lihat Tabel 11 total
kebutuhan air dan Tabel 12 tentang “Air Virtual”
(kebutuhan air untuk menghasilkan satu satuan
produk) di bawah ini.
2.0 merupakan faktor koreksi untuk
memperhitungkan kebutuhan hidup layak yang
mencakup kebutuhan pangan, domestik dan
lainnya.
Catatan: Kriteria WHO untuk kebutuhan air total sebesar
1000–2000 m3 /orang/tahun
Tabel 11 Total Kebutuhan Air
Konsumsi Jumlah
Kebutuhan Setara
Air
Beras 120 kg/th 324.00 m3 /th
Air minum dan rumah
tangga 120 l/ h 43.20 m3 /th
Telor
1 kg berisi 16 telor;
1 butir/hari 105.75 m3 /th
Buah
1kg jeruk = 5 buah;
1/5 kg tiap 3 hari 3.84 m3 /th
Daging 1/10 kg/5hari 20.16 m3 /th
Salad 5.40 m3 /th
Kedelai 276.00 m3 /th
Total 778.35 m3 /th
30
Tabel 12 Air Virtual (kebutuhan air untuk menghasilkan
satu satuan produk)
Produk Kebutuhan air
1 kg padi 2700-4000 liter
1 kg daging sapi 2900-16000 liter
1 kg daging unggas(ayam) 2800 liter
1 kg telor 4700 liter
1 kg kentang 160 liter
1 kg kedelai 2300 liter
1 kg gandum 1200 liter
1 bongkah roti 170 liter
1 kaleng soda 90 liter
Air minum dan RT 120 liter/hari/kapita
3. Penentuan Status Daya Dukung Air
Status daya dukung air diperoleh dari pembandingan antara
ketersediaan air (SA) dan kebutuhan air (DA).
Bila SA > DA , daya dukung air dinyatakan surplus.
Bila SA < DA , daya dukung air dinyatakan defisit atau
terlampaui.
C. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penghitungan perbandingan
kebutuhan dan ketersediaan air berasal dari beberapa sumber
data, yang dijelaskan pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13 Jenis dan Sumber Data
Jenis Data Sumber Data
Pusat Provinsi Kabupaten/Kota
Jumlah
Penduduk (N)
Data Hasil Susenas atau Sensus Penduduk BPS dalam
Buku Daerah Dalam Angka
Curah hujan (R) Statistik
Indonesia
DDA DDA atau Dinas
BMKG setempat,
bila tidak ada data
BMKG, data dapat
diperoleh dari
dinas terkait lokal
seperti Dinas
Pertanian atau
dinas lainnya
Luas wilayah (A) BPS
Luas guna lahan a. DDA
31
(Ai) b. Buku Statistik Luas Guna Lahan
c. Data BPN
d. Data RTRW Bappeda Provinsi/Kabupaten/Kota
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi V MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,
ttd
Ilyas Asaad

Tidak ada komentar: