Mengenai Saya

Foto saya
YOGYA -TERNATE, DIY, Indonesia
ORANGNYA SANTAI, TAMPIL APA ADANYA, SENENG YANG SIMPEL2, DAN YANG PRAKTIS AJA, KALO SOAL KEBIJAKAN SAYA ORANGNYA CUKUP CEPAT DAN TEGAS

Senin, 17 November 2008

Waste to Energy

http://www.wastetoenergy.co.uk/

[ppi] [ppiindia] Promosi Menyesatkan "Waste to Energy"
From: "Ambon"
To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
Date: Tue, 25 Jul 2006 12:04:04 +0200
** Mailing List|Milis Nasional Indonesia PPI-India **
** Situs resmi: http://www.ppi-india.org **
** Situs milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia **
** Informasi Beasiswa Scholarship: http://informasi-beasiswa.blogspot.com **


src="http://feeds.feedburner.com/Info_Beasiswa.gif"; height="67" width="200"
style="border:0" alt="Info Beasiswa Scholarship "/>



http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/072006/25/0902.htm


Promosi Menyesatkan "Waste to Energy"
Oleh OTTO SOEMARWOTO

"Mereka menyalahgunakan nama saya untuk kepentingan bisnis dengan cara
yang tidak etis. Mereka ingin meyakinkan publik dan pemkot bahwa teknologi
mereka adalah baik, ramah lingkungan hidup, dan ekonomis menguntungkan. Tetapi
cara mereka berpromosi menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas dan etika
bisnis mereka".



BARU-baru ini saya menerima sebuah pamflet promosi pabrik pembangkit
listrik Waste Energy System dengan sampah sebagai bahan bakar. Promosi
dilakukan oleh Thermal Converter Clean & Power Indonesia dan diedarkan oleh
Frans Djati Surya Seputra dan Bony Iskandar, S.H. Menurut mereka mesin tersebut
telah digunakan di banyak negara maju, misalnya Inggris, Jerman, Belgia dan
Jepang, dan sedang dibangun di banyak negara sedang berkembang, misalnya Ghana,
Filipina dan India.

Pamfletnya dicetak bagus dan menarik. Halaman pertama menguraikan
teknologinya dan di halaman yang lain diisi dengan gambar teknis berwarna
tentang teknologi pembakaran sampah untuk pembangkitan listrik. Uraian
teknologi menggunakan data dari artikel-artikel saya yang dimuat di Pikiran
Rakyat . Di bawah uraian tercantum nama lengkap saya dengan alamat dan nomor
telefon saya.

Pembaca pamflet tentu akan menyangka bahwa saya adalah penulis pamflet
dan pendukung teknologi tersebut. Padahal saya tidak mengenal promotornya,
belum pernah bertemu mereka dan pemuatan nama saya adalah tanpa sepengetahuan
dan seizin saya. Jelas promosi tersebut telah menyalahgunakan nama saya untuk
keperluan bisnis, barangkali untuk dapat menjual alat itu kepada Pemkot
Bandung.

Pada khalayak ramai dan pemkot saya anjurkan untuk mewaspadai promosi ini
karena data yang mereka gunakan hanya diambil sepotong-sepotong untuk memberi
gambaran yang sangat bagus tentang alat tersebut. Pendeknya alat itu sempurna
tanpa cacat. Butir-butir pentingnya ialah sebagai berikut.

Pembentukan dioksin

Dioksin ialah racun yang sangat berbahaya dan merupakan salah satu hasil
pembakaran bahan organik yang mengandung klorin. Salah satu sifatnya ialah
karsinogenik. Dioksin tidak akan terbentuk pada pembakaran di atas 8.000
derajat C (ada yang mengatakan 6.000 derajat). Pada alat yang dipromosikan itu
suhu akhirnya adalah 1.350 derajat. Tetapi pada awal pembakaran suhu adalah
4.500 derajat. Suhu awal ini memberi kesempatan untuk terbentuknya dioksin.

Di samping itu menurut literatur dioksin terjadi pada waktu insinerator
mengalami quenching (cooling down). Karena itu di Amerika Serikat beberapa
negara bagian melarang pembakaran sampah yang mengandung plastik, khususnya
PVC, yang diketahui merupakan sumber penting dalam sampah untuk terbentuknya
dioksin. Padahal PVC banyak sekali digunakan dalam kehidupan sehari-hari kita,
misalnya peralatan medik, mainan anak, dan alat transpor. Larangan ini telah
mendorong industri untuk mengganti PVC dengan bahan lain. Tetapi di Indonesia
usaha ini belum ada. Dalam pamflet promosi disebutkan bahwa sampah dibakar
langsung tanpa perlu dipilah, sehingga tentulah mengandung bahan plastik pula.
Karena itu klaim tidak terbentuknya dioksin tidak ada dasarnya yang kuat dan
haruslah dibuktikan oleh para promotor.

Pemusnahan zat pencemar

Para promotor menyatakan bahwa semua zat pencemar akan dimusnahkan oleh
suhu tinggi yang mereka gunakan. Jelas ini salah karena akan berlawanan dengan
Hukum Kekekalan Materi. Misalnya, karbon dan oksigen yang terkandung dalam
sampah akan berubah menjadi CO2 dan tidak dapat dimusnahkan oleh suhu yang
sangat tinggi sekalipun. Dan CO2 adalah zat pencemar global sebagai penyebab
pemanasan global. Salah satu dampaknya ialah perubahan iklim, antara lain,
kenaikan intensitas dan frekuensi hujan/kekeringan dan badai.

Misalnya, topan Katrina, Wilma, dan Rita yang menyerang Amerika Serikat
tahun lalu dan menelan korban jiwa dalam jumlah besar dan menyebabkan kerugian
materiil yang sangat besar pula dicurigai oleh banyak pakar iklim sebagai
dampak pemanasan global. Indonesia pun berkepentingan dengan pemanasan global.
Salah satu dampaknya ialah kenaikan permukaan laut yang meningkatkan laju
abrasi pantai yang merusak vegetasi pantai, pelabuhan nelayan, tambak ikan dan
udang, pemukiman, dan jalan. Kenaikan laju abrasi pantai akan meningkatkan
kerentanan terhadap dampak tsunami. Dampak pemanasan global lainnya ialah makin
parahnya masalah penyakit yang ditularkan oleh hewan, misalnya demam berdarah
dan malaria.

Senyawa belerang (S) dan nitrogen (N) tidak pula akan dimusnahkan.
Senyawa itu akan membentuk asam sulfat dan nitrat yang berdampak pada ekosistem
akuatik dan meningkatkan kelarutan logam berat dalam tanah, misalnya kadmium
yang beracun, sehingga kandungan kadmium dalam hasil pertanian kita, misalnya
sayuran, akan naik. Kenaikan kandungan Cd meningkatkan risiko terjadinya
penyakit itai-itai yang membuat tulang menjadi rapuh dan penderitanya mudah
mengalami patah tulang. Asam yang terbentuk akan menurunkan pH perairan
sehingga terbentuk metilmerkuri dari logam merkuri.

Merkuri kita ketahui merupakan zat pencemar di banyak perairan kita.
Metilmerkur sangat beracun yang merupakan penyebab terjadinya penyakit
minamata. Senyawa belerang dan nitrogen juga akan membentuk zat padat halus
(particulate matter) yang disebut PM2,5 yang diketahui sangat berbahaya bagi
kesehatan, terutama balita dan lansia. Bandung yang terletak di dalam sebuah
cekungan sangat rentan terhadap pencemaran udara, sehingga kita harus sangat
hati-hati dengan pembakaran sampah.

Abu

Mereka mengklaim bahwa abu mereka adalah steril. Jika steril ini
diartikan sebagai bebas mikroba, klaim itu adalah benar. Tetapi apakah tidak
mengandung zat berbahaya, misalnya logam berat dari baterai yang dalam zaman
modern ini makin banyak digunakan dan dibuang dengan sembarangan? Para promotor
haruslah membuktikan keamanan abu itu. Tidak cukup hanya dengan pernyataan
bahwa abu itu aman. Tidak tertutup kemungkinan bahwa abu itu merupakan limbah
B3 sehingga tidak dapat dibuang begitu saja, melainkan harus ditangani secara
khusus.

Hasil energi dan air

Pamflet promosi menyatakan bahwa alat mereka akan menghasilkan energi
listrik dan air bersih yang menguntungkan. Tetapi mereka tidak menunjukkan
berapakah energi netto dan jumlah air bersih netto yang mereka hasilkan.
Akankah hasil netto itu positif atau negatif? Artinya, energi listrik yang
mereka hasilkan akan lebih besar ataukah lebih kecil daripada jumlah energi
yang harus dikeluarkan untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah, merajang
sampah (shredder), membakar sampah, mengangkut dan mengolah air serta
mendistribusikan listrik?

Dari mana air yang mereka perlukan? Cukupkah dari air yang terkandung
dalam sampah ataukah mereka ambil dari tanah atau sungai? Dalam hal air itu
diambil dari sebuah sumber akan lebih besarkah air yang mereka produksi
daripada air yang mereka gunakan? Akan terjadikah penurunan permukaan air tanah
atau menimbulkan kompetisi untuk kebutuhan air antara alat mereka dan irigasi
dan kebutuhan penduduk sehari-hari, terutama pada musim kemarau? Dan akankah
harga air bersih mereka kompetitif dengan air PAM? Mereka harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kesimpulan

Tampak bahwa apa yang diklaim oleh para promotor Thermal Converter
tidaklah didukung oleh data yang konkret, melainkan sekedar data verbal. Data
ini mereka ambil sepotong-potong saja yang menguntungkan mereka. Mereka
menyalahgunakan nama saya untuk kepentingan bisnis dengan cara yang tidak etis.
Mereka ingin meyakinkan publik dan pemkot bahwa teknologi mereka adalah baik,
ramah lingkungan hidup dan ekonomis menguntungkan. Tetapi cara mereka
berpromosi menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas dan etika bisnis mereka.

Saya mengimbau masyarakat dan Pemkot untuk waspada dan mengkaji
benar-benar teknologi sampah jadi energi, sebelum mengadopsinya. Janganlah
sampai kita berusaha menyelesaikan masalah sampah dengan menimbulkan masalah
lain yang rumit dan berbahaya bagi lingkungan hidup dan kesehatan kita. Sebagai
bagian kajian haruslah dibuat amdal yang dilakukan oleh sebuah badan
independen, yaitu bukan pemerintah ataupun konsultan yang mempunyai kepentingan
dalam projek ini. Badan itu dapat berupa sebuah konsorsium universitas dengan
ketentuan universitas yang mempunyai kepentingan dalam projek ini tidak boleh
menjadi anggota konsorsium.***

Penulis, pakar lingkungan hidup, guru besar emeritus, tinggal di Bandung.

http://www.freelists.org/archives/ppi/07-2006/msg00282.html

Waste-to-Energy

Just Burn It
Why Burn Garbage?
Environmentally Speaking
Waste-to-Energy Plants
To Burn or Not to Burn
JUST BURN IT!

Americans are producing more and more waste with each passing year. In 1960, the average American threw away 2.7 pounds of trash a day. Today, the average American throws away 4.5 pounds of trash every day! What are we going to do with all that trash?

One solution is to burn it. (Burning is sometimes called combustion.) All organic waste contains energy. Organic waste is waste that is made from plant or animal products. People have burned one type of organic material for millions of years. Can you guess what that material is? It’s wood. Ancient people burned wood to keep them warm and to cook their food. In many parts of the world, wood is still the number one source of energy.

Today, we can burn garbage in special plants and use its heat energy to make steam to heat buildings or to generate electricity. This may sound amazing, but it is really nothing new. More than half of electric power companies already burn another type of solid material to make electricity.
GARBAGE energy

It takes 2,000 pounds of garbage to equal the heat energy in 500 pounds of coal.


That material is coal. Coal is a mineral that was formed from the remains of plants that died millions of years ago. Power companies use the heat energy in coal to make electricity.

Garbage does not contain as much heat energy as coal, though. It takes one ton (2,000 pounds) of garbage to equal the heat energy in 500 pounds of coal. Today, there are 90 waste-to-energy plants in the United States. Plus, there are another old-style solid waste incinerators that simply burn trash to get rid of it. They do not use the heat energy to make steam or electricity.

Today, the U.S. burns 14 percent of its solid waste.

WHY BURN GARBAGE?

Waste-to-energy plants generate enough electricity to supply almost three million households. But, providing electricity is not the major advantage of waste-to-energy plants. In fact, it costs more to generate electricity at a waste-to-energy plant than it does at a coal, nuclear, or hydropower plant.

The major advantage of burning waste is that it reduces the amount of garbage we bury in landfills. Burning waste substantially reduces the amount of trash going to landfills. Waste-to-energy plants dispose of the waste of 40 million people.

The average American produces more than 1,600 pounds of waste a year. If all this waste were landfilled, it would take more than two cubic yards of landfill space. That’s the volume of a box three feet long, three feet wide, and six feet high. If that waste were burned, the ash residue would fit into a box three feet long, three feet wide, but only nine inches high!

Why is reducing the amount of waste buried in landfills so important? Some communities in the congested Northeast may be running out of land for new landfills. And, since most people don’t want landfills in their backyards, it has become more difficult to obtain permits to build new landfills. Taking the country as a whole, the United States has plenty of open space, of course, but it is expensive to transport garbage a long distance to put it into a landfill.

Some people are concerned that burning garbage may harm the environment. Like coal plants, waste-to-energy plants produce air pollution when the fuel is burned to produce steam or electricity. Burning garbage releases the chemicals and substances found in the waste. Some chemicals can be dangerous to people, the environment, or both, if they are not properly controlled.

ENVIRONMENTALLY SPEAKING

AIR EMISSIONS
The Environmental Protection Agency (EPA)—an agency of the federal government—applies strict environmental rules to waste-to-energy plants. The EPA requires waste-to-energy plants to use anti-pollution devices, including scrubbers, fabric filters, and electrostatic precipitators. The EPA wants to make sure that harmful gases and particles are not going out the smokestack into the air. Scrubbers clean chemical gas emissions by spraying a liquid into the gas stream to neutralize the acids. Fabric filters and electrostatic precipitators remove particles from the emissions. The particles are then mixed with the ash that is removed from the bottom of the waste-to-energy plant’s furnace when it is cleaned. Waste-to-energy plants also have a kind of built-in anti-pollution device. A waste-to-energy furnace burns at such high temperatures (1,800 to 2,000 degrees Fahrenheit) that many complex chemicals naturally break down into simpler, less harmful compounds.

ASH DISPOSAL
Another challenge is the disposal of the ash after combustion. Ash can contain high concentrations of various metals that were present in the original waste. Textile dyes, printing inks, and ceramics, for example, contain the metals lead and cadmium. Separating waste before combustion can solve part of the problem. For instance, because batteries are the largest source of lead and cadmium in the solid waste stream, they should be taken out of the mix and not burned.

The ash from waste-to-energy plants is tested by the EPA to make sure it is not hazardous. The test looks for chemicals and metals that would contaminate ground water through leachate, or water trickling through a landfill. Ash that is safe can be reused for many applications. About one-third of all the ash produced is used in landfills as a daily or final cover layer, to build roads, to make cement blocks, and even to make artificial reefs for marine animals.

WASTE-TO-ENERGY PLANTS


Waste-to-energy plants work very much like coal-fired power plants. The difference is the fuel. Waste-to-energy plants use garbage—not coal—to fire an industrial boiler. The same steps are used to make electricity in a waste-to-energy plant as in a coal-fired power plant:

1. The fuel is burned, releasing heat.
2. The heat turns water into steam.
3. The high-pressure steam turns the blades of a turbine generator to produce electricity.
4. A utility company sends the electricity along power lines to homes, schools, and businesses.

You can think of garbage as a mixture of energy-rich fuels. In 100 pounds of typical garbage, more than 80 pounds can be burned as fuel to generate electricity at a power plant. Those fuels include paper, plastics, and yard waste. A ton of garbage generates about 525 kilowatt-hours (kWh) of electricity, enough energy to heat a typical office building for one day.

The high-temperature incinerator in a waste-to-energy plant burns most of the waste. All that is left is a substance called ash. Ash is the solid residue left over when something is burned. It’s like the ash left over from a wood fire in the bottom of a fireplace. In a waste-to-energy plant, 2,000 pounds (one ton) of garbage is reduced to 300–600 pounds of ash.

TRASH BURNED IN WASTE-TO-ENERGY PLANTS



Many countries have built waste-to-energy plants to capture the energy in their trash. There are more than 600 waste-to-energy plants in 35 different countries. The graph shows the top five countries that burn their trash to recover the energy in it.

For example, the use of waste-to-energy plants in some European and Asian countries has grown, in part because they have little open space and few energy resources.

The U.S. burns 14 percent of its trash in waste-to-energy plants. Denmark, on the other hand, burns 54 percent.








































TO BURN OR NOT TO BURN?

Some critics of waste-to-energy plants are afraid that burning waste will hamper recycling programs. If everyone sends their trash to a waste-to-energy plant, they say, there will be little incentive to recycle.

Recently, a study of cities that have both recycling programs and waste-to-energy plants showed higher recycling rates than other cities in the U.S. Why would these cities recycle more when they burn their trash? The results showed that people living in cities with waste-to-energy plants are more educated about municipal solid waste and strongly support their recycling programs.

So, while at first glance, recycling and waste-to-energy seem to be at odds, they can actually complement each other. That’s because it makes good sense to recycle some materials, and better sense to burn others.

Let’s look at aluminum, for example. Aluminum ore is so expensive to mine that recycling aluminum more than pays for itself. Burning it produces no energy. Also, because aluminum melts at a low temperature, it can clog up the works in a waste-to-energy plant. So clearly, aluminum is valuable to recycle and not useful to burn.

Paper, on the other hand, can either be burned or recycled—it all depends on the price the used paper will bring. Around 15 years ago, the East Coast experienced a glut of old newspapers. Some East Coast communities were paid almost nothing for the paper they collected. And some communities couldn’t find anyone who wanted to buy their old newspapers, so they ended up paying a trucking company to haul the newspapers to a landfill!

In these cases, burning the newspapers for their energy value would have been a good alternative. Other types of paper, such as those using colored inks and glossy finishes, are not easily recycled and usually should be burned for their energy content.

Plastics are another matter. Because plastics are made from petroleum and natural gas, they are excellent sources of energy for waste-to-energy plants. This is especially true since plastics are not as easy to recycle as steel, aluminum, or paper. Plastics almost always have to be hand sorted and making a product from recycled plastics may cost more than making it from new materials.

To burn or not to burn is not really the question. We can use both recycling and waste-to-energy as alternatives to landfilling.

Last Revised: September 2006
Source: National Energy Education Development Project, Museum of Solid Waste , 2006

http://www.eia.doe.gov/kids/energyfacts/saving/recycling/solidwaste/wastetoenergy.html

Waste-to-energy
From Wikipedia, the free encyclopedia

This incineration plant is one of several plants that provides district heating in Vienna.

Waste-to-energy (WtE) or energy-from-waste (EfW) in its strictest sense refers to any waste treatment that creates energy in the form of electricity and/or heat from a waste source. Such technologies reduce or eliminate waste that is traditionally streamed to a "greenhouse gas" emitting landfill, or consume waste materials from existing landfills. WtE is also called energy recovery. Most WtE processes produce electricity directly through combustion, or produce a combustible fuel commodity, such as methane, methanol, ethanol or synthetic fuels.Contents [hide]
1 Incineration
2 WtE technologies other than incineration
3 Measurement of the biomass fraction of waste for greenhouse gas abatement protocols
4 See also
5 External links
6 References


[edit]
Incineration
Main article: incineration

Incineration, the combustion of organic material such as waste, with energy recovery is the most common WtE implementation. Incineration may also be implemented without energy and materials recovery, but this is increasingly being banned in OECD countries. Furthermore, all new WtE plants in OECD countries must meet strict emission standards. Hence, modern incineration plants are vastly different from the old types, some of which neither recovered energy nor materials. Modern incinerators reduce the volume of the original waste by 95-96 %, depending upon composition and degree of recovery of materials such as metals from the ash for recycling[1].


Modern incinerators still have expert and local community concerns about bioaccumulate fine particulate PM2.5 emissions downwind, metal, trace dioxins and acid gas emissions, climate change CO2 footprints, toxic fly ash and incinerator bottom ash or IBA management as well as waste resource ethics such as valuable resource destruction, low energy efficiency (usually 14-28%) and reducing the incentives and threshold for recycling and waste minimisation activities. Incineration in any form WtE, EfW, or CHP is rejected in the zero waste movement as a viable, sustainable or ethical solution to managing waste resources or energy recovery. Some health and air emissions experts still have their concerns regarding unmonitored fine particulates amounts at specifically PM2.5 emissions level and the effectiveness of electroplate and bag filters. Other technology developers such as those developing plasma arc gasification PGP or anaerobic digestion AD following autoclaving MHT or advanced mechanical biological treatment MBT[ [AMBT]]; claim more advanced and more effective technologies and suggest investment in incineration as a future technology is a wasted investment.



[edit]
WtE technologies other than incineration

There are a number of other new and emerging technologies that are able to produce energy from waste and other fuels without direct combustion. Many of these technologies have the potential to produce more electric power from the same amount of fuel than would be possible by direct combustion. This is mainly due to the separation of corrosive components (ash) from the converted fuel, thereby allowing a higher combustion temperatures in e.g. boilers, gas turbines, internal combustion engines, fuel cells. Some are able to efficiently convert the energy into liquid or gaseous fuels:

Thermal technologies:
Gasification (produces combustible gas, hydrogen, synthetic fuels)
Pyrolysis (produces combustible tar/biooil)
Plasma arc gasification PGP or plasma gasification process (produces rich syngas Hydrogen Carbon Monoxide usable for fuel cells or generating electricity to drive the plasma arch, useable vitrified silicate and metal ingots, salt and sulphur)

Non-thermal technologies:
Anaerobic digestion (Biogas rich on methane)
Ethanol production
Mechanical biological treatment
MBT-Anaerobic digestion
MBT-Refuse derived fuel

[edit]
Measurement of the biomass fraction of waste for greenhouse gas abatement protocols

The biomass fraction of waste has a monetary value under multiple greenhouse gas protocols, such as the AB 32 program in California and the Renewable Obligation Certificate program in the United Kingdom. Biomass is considered to be carbon-neutral since the CO2 liberated from the combustion of biomass is recycled in plants. The combusted biomass fraction of waste is used by waste to energy plants to reduce their overall reported CO2 emissions.

Several methods have been developed by the European CEN 343 working group to determine the biomass fraction of waste fuels, such as Refuse Derived Fuel/Solid Recovered Fuel. The initial two methods developed (CEN/TS 15440) were the manual sorting method and the selective dissolution method. Since each method suffered from limitations in properly characterizing the biomass fraction, an alternative method was developed using the principles of radiocarbon dating. A technical review (CEN/TR 15591:2007) outlining the carbon 14 method was published in 2007. A technical standard of the carbon dating method (CEN/TS 15747:2008) will be published in 2008. In the United States, there is already an equivalent carbon 14 method under the standard method ASTM D6866.

Although carbon 14 dating can determine with excellent precision the biomass fraction of waste, it cannot determine directly the biomass calorific value. Determining the calorific value is important for green certificate programs such as the Renewable Obligation Certificate program in the United Kingdom. These programs award certificates based on the energy produced from biomass. Several research papers, including the one commissioned by the Renewable Energy Association in the UK, have been published that demonstrate how the carbon 14 result can be used to calculate the biomass calorific value.

Reference: C14 Determination of Biomass Energy Content of Fuels – Description of Method [2]



[edit]
See also Energy Portal

Incineration
List of solid waste treatment technologies
Waste management

[edit]
External links
Waste-to-Energy Research and Technology Council

[edit]
References
^ Waste to Energy in Denmark by Ramboll Consult
^ C14 Determination of Biomass Energy Content of Fuels – Description of Method [1], www.betalabservices.com

http://en.wikipedia.org/wiki/Waste-to-energy

Waste to Energy

At Waste Management, we're always thinking green - especially when it comes to creating alternative energy solutions. Since the early 1970s, our Wheelabrator division has been delivering successful waste-to-energy projects, providing clean, renewable energy and saving space in local landfills. Wheelabrator facilities have converted more than 145 million tons of municipal solid waste into more than 75 billion kilowatt-hours of clean, reliable electric power. Each day we generate enough electricity to power 700,000 homes.

Clean renewable energy is also generated from Waste Management's landfill gas-to-energy projects, which minimize emissions of greenhouse gases as well as generate enough energy to power 160,000 homes each day - the equivalent of nearly 5 million barrels of oil per year.

And, we are engaged in a cooperative research and development agreement (CRADA), a joint research effort with the EPA to determine which practices best promote the safe operation of large-scale bioreactor landfills. Through our Maplewood and King George County Landfills, we are also participating in the EPA's Project XL, an initiative that uses pilot projects for achieving superior environmental performance from bioreactor landfill technology. Our goal is to make Waste Management's many landfill gas-to-energy programs even more efficient - while making landfills last longer for our communities.
Document Destruction

Wheelabrator is more than just a waste-to-energy company. It's also the perfect service for safely disposing of your business' confidential documents. Wheelabrator’s combustion process guarantees 100 percent destruction - along with complete confidentiality.
Greenhouse Gases

Through our many environmental programs, Waste Management is becoming a greener company every day. The Chicago Climate Exchange agrees. That's why they brought us on board as a founding member of the U.S. pilot program to promote the trading of greenhouse gas emission credits, which are earned by companies who limit or eliminate harmful CO2 emissions. In fact, Waste Management is second only to the Tennessee Valley Authority in generating greenhouse gas credits. Not only are these reductions in greenhouse gases good for the environment, we also use these credits to demonstrate our commitment to corporate stewardship. For example, with our donations the Salt Lake City Winter Olympics was the first Olympics in modern history to have zero impact on the environment.

http://www.wm.com/wm/services/waste-to-energy.asp

Propsal Mitigasi Bencana

Metigasi Bencana Ekologi-Hidraulik dan Implementasi Penanggulangannya pada Wilayah Muara Sungai Serayu Akibat Kegiatan Konstruksi Fisik

A. JUDUL POPOSAL
Metigasi Bencana Ekologi-Hidraulik dan Implementasi Penanggulangannya pada Wilayah Muara Sungai Serayu Akibat Kegiatan Konstruksi Fisik

B. INTISARI
Kegiatan fisik di muara sunga berupa pembautan tanggul memanjang, talud, pembuartan bendung, pengerukan dasar sungai, penghilangan vegetasi tebing sungai, pembuatan pengarah arus, sudetan sungai serta pembuatan pelindung mulut muara dengan Jetty, disinyalir oleh banyak ahli dapat mengakibatkan terjadinya gangguan serius terhadap ekosistem flora dan fauna wilayah muara tersebut. Kerusakan ekosistem di muara dapat berpengaruh terhadap penurunan variditas fauna laut atau pantai maupun penurunan fauna air tawar.

Sebagaimana diketahui bahwa wilayah muara merupakan wilayah pemijahan dan reproduksi berbagai jenis fauna laut dan sungai. Gangguan pada wilayah ini dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah fauna (ikan, udang, kepiting) di daerah pantai sekitarnya, yang pada gilirannya akan merugikan rakyat kecil dan nelayan pantai.

Sungai Serayu dipilih sebagai tempat studi metigasi dan implementasi penanggulangan bencana ekologi-hidraulik. Pada wilayah sungai Serayu telah diadakan beberapa jenis kegiatan fisik dalam rangkan pengendalian banjir dan stabilitas tebing sungai, diantaranya adalah: perkuatan tebing, normalisasi sungai dan pembuatan pengarah arus. Kegiatan merubah mkanisme hidraulik muara ini, dimungkinkan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ekologi wilayah tersebut.

Mitigasi bancana ekologi-hidraulik dilakukan dengan meneliti perubahan karakteristik nhidraulik wilayah muara tersebut, meneliti perubahan ekologi berupa perubahan veriditas, jumlah dan pola hidup berbagai fauna flora di wilayah tersebut. Hasil Metigasi ini muara sungai Serayu ini selanjutnya dapat dikembangkan untuk mengadakan metigasi wilayah muara sungai lainnya.


Dari hasil Mitigasi tersebut selanjutnya disusun rencana untuk implementasi pengelolaan dan penanggulangan bencana ekologi-hidraulik.Implementasi dilakukan dan diadakan pemantauan pada kurun waktu tertentu (6 bulan sampai 1 tahun) untuk mendapatkan informasi tingkat keberhasilan metode yang digunakan. Teknologi yang dipakai dalam implementasi ini adalah teknologi ramah lingkungan dengan mengguanakan komponen ekologi dan hidarulik dinamis yang tidak merusak lingkungan muara sungai.




C. LATAR BELAKANG PENELITIAN

1. Permasalahan
Dalam proyek South Java Flood Control telah dilakukan berbagai upaya konstruksi fisik pada muara-muara sungai di sepanjang pantai pulau Jawa. Rekayasa fisik hidraulik murni ini bertujuan untuk mecegah banjir yang sering terjadi di daerah pantai selatan pualu Jawa. Penangan secara besar-besaran ini ditinjau dari konsep ekologi-hidraulik dapat menimbulkan bencana ekologi di wilayah muara sungai secara serius. Agar bencana ekologi ini dapat ditanggulangi secara preventif maka sangat mendesak untuk segera dimulai metigasi bencana ekologi wilayah muara sungai. Karena wilayah muara merupakan wilayah pemijahan dan reproduksi ikan, udang , kepiting dan fauna laut dan pantai lainnya, maka kerusakan atau bencana ekologi di muara sungai akan berakibat sangat fatal terhadap ketersediaan sumber penghasilan masyarakat nelayan secara keseluruhan.

Muara sungai Serayu telah mengalami berbagai perubahan fisik yaitu pelurusan, pembuatan pelindung tanggul dan pengarah arus. Kegaitan konstruksi fisik ini dirasakan telah mempengaruhi ekosistem daerah muara sungai tersebut. Untuk mengetahui pengaruh perubahan ekosistem ini maka diperlukan metigasi bencana ekologi-hidraulis. Metigasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perubahan komponen ekologi wilayah muara yang telah terjadi dan sejauh mana perubahan komponen hidarulik dan pengaruhnya terhadap ekologi.

Agar hasil studi metigasi ini bisa diujicobakan dan evaluasi hasilnya serta ketepatan metode yang diajukan dapat segera diketahui, perlu dilakukan implementasi fisik riil di lapangan. Implementasi ini selanjutnya dipantau secara reguler untuk mengetahui perubahan atau perbaikan yang terjadi berkaitan dengan metode penanggulangan yang diimplemntasikan.

2. Faedah yang dapat diharapkan

1. Hasil metigasi dan pilot project implementasi ini dapat dijadikan bahan masukan yang sangat penting untuk wilayah muara sungai-sungai lainnya di Indonesia yang mengalami permasalahan yang sama.
2. Membangun kesadaran masyarakat luas tentang adanya bencana ekologi yang akan muncul di wilayah muara sungai oleh rekayasa hidraulik murni

D. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Metigasi dan Implementasi penanggulangan bencana ekologi-Hidraulik akibat kegiatan konstruksi fisik di wilayah muara sungai adalah:

1. Meneliti perubahan ekologi yang terjadi dengan menghitung variditas yang ada dan membandingkan dengan variditas yang seharusnya ada baik dari penelitian terdahulu maupun dengan konsep teoretis.
2. Meneliti perubahan hidraulik sungai di muara dan pantainya akibat pembangunan konstruksi fisik serta pengaruhnya terhadap ekologi muara,
3. Menemukan metode rekayasa ekologi ( upaya vegetasitif dan konstruksi tidak permanen, dll.) untuk menanggulangi bencana ekologi-hidrauli di wilayah muara sungai Serayu
4. Membuat rekomendasi dalam menyelesaikan masalah bencana ekologi-hidraulis di muara sungai Serayu.


E. CARA METIGASI DAN IMPLEMENTASI PENANGGULANGANNYA
Cara metigasi bencana ekologi-hidraulik untuk wilayah muara sungai Serayu adalah sebagai berikut;

1. Bahan atau materi Mtigasi dan Implementasi (pilot project)
Bahan yang akan dipakai dalam penelitian ini data sekunder dari debit sengai, data pasang surut di muara sungai, data geografis, data geologis dan data ekologis dari sungai Serayu. Vegetasi pinggir sungai di sekitar lokasi muara dan jenis serta jumlah fauna sungai dan fauna pantai di wilayah muara yang ditemukan. Studi Disamping itu bahan dan materi penelitian adalah informasi dari studi literature untuk permasalahan yang terkait.

Bahan dari data primer lapangan merupakan materi bahan yang akan dikumpulkan langsung dari lokasi. Jenis data yang akan diambil melengkapi dan menyempurnakan perolehan data sekunder sebelumnya.

2. Alat
Alat yang dipakai dalam studi bencana ekologi dan implementasi penanggulangannya ini adalah alat ukur panjang (mistar), masa, temperatur, kelembaban, kecepatan air, alat ukur ketinggian (Theodolit dan Waterpass) dan alat gali dan alat potong vegetasi, alat hitung fauna. Disamping alat ukur tersebut juga dipakai alat ukur dan alat uji kimia dan biologi di laboratorium untuk keperluan uji ekologi wilayah muara sungai. Untuk menganalisis dan mendokumentasikan hasil digunakan komputer dan kamera digital.

2. Prosedur Metigasi dan Implementasi Penanggulangan (pilot project)
a. Pemetaan seluruh kawasan sungai Serayu,
b. Ekplorasi kondisi muara sungai Serayu
c. Pengumpulan data sekunder berupa data hujan, debit,pasang surut, data geografi, geologi dan data ekologi termasuk kondisi sosial masyarakat muara sungai Serayu.
d. Pengumpulan data vegetasi dan fauna muara sungai
e. Pengumpulan data hasil tangkapan ikan, udang dan kepiting nelayan.
f. Analisis perubahan hidraulik kaitrannya dengan ekologi akibat pembangunan konstruksi fisik di muara,
g. Analisis perubahan jenis vegetasi dan fauna yang terjadi secara time series,
h. Pengambilan kesimpulan perubahan dan bencana yang terjadi
i. Rekomendasi penyelesaian metode penanggulangan bencana,
j. Implementasi metode penanggulangan bencana
k. Evaluasi hasi implementasi,
l. Penulisan laporan antara,
m. Seminar hasil metigasi bencana dan implentasi penanggulangan
n. Penulisan laporan akhir.



3. Analisis hasil
Analisis hasil metigasi dilakukan dengan cara diskriftif, kualitaif dan statistik untuk menjelaskan sebab terjadinya bencana ekologi-hidarulik yang ada. Analisis Kuantitatif dan kualitatif dipakai untuk memeriksa karakteristik fauna dan vegetasi yang dikumpulkan dari lokasi metigasi. Perubahan vegetasi dan fauna di lokasi metigasi dianalisis sejauh mungkin secara time series. Karakteristik yang diteliti adalah meliputi jumlah, jenis, perilaku dll. keterkaitannya dengan perubahan karakteristik habitat yang terjadi.

Analisis hasil metigasi selajutnya dipakai sebagai dasar pembautan rekomendasi penanggulangan bencana dan rencana implementasi penanggulangan bencana. Kegiatan implementasi riil di lapangan dilakukan dan dipantau secara reguler dan dievaluasi selama kurun waktu 6-12 bulan. Analis hasil studi metigasi sebelumnya dan evaluasi dan hasil implementasi merupakan bahan analisis akhir dan rekomendasi akhir.

F. JADWAL PENELITIAN

Tahap Kegiatan Tahun I Bulan-ke
1 2 3 4 5 6
Persiapan:
a. Diskusi peneliti dan pembantu peneliti
b. Perijinan dan administrasi
c. Studi literatur
d. Perencanaan detail penelitian
e. Persiapan alat dan bahan
f. Seminar kecil rencana penelitian, tim peneliti, mahasiswa, dinas terkait.


Pelaksanaan
a.Pengumpulan data sekunder
b.Survai lapangan makro
c.Survai fauna dan vegetasi wilayah muara sungai
d.Survai jenis dan karakteristik tanah
e.Survai sosial dan nelayan kaitannya dengan perubahan hidarulik dan ekologi
f. Analisis laboratorium karakteristik vegetasi dan fauna muara sungai
g. Analisis perubahan hidraulik muara dengan model numeric atau fisik.
f. Anlisis kualitatif hasil survai social.
g. Seminar kecil hasil pelaksanaan mitigasi

Penyelesaian
a. Penyajian penyebab bencana ekologi-hidraulik di wilayah muara.
b. Penyajian dan rekomendasi metode ekologi-hidraulik untuk penanggulangan bencana.
c. Seminar laporan akhir
d. Pembuatan laporan ahir








Rencana pokok Implemntasi Penanggulangan Bencana (pilot project) Bulan-ke
1 2 3 4 5 6
Persiapan:
a. Diskusi metode implementsi
b. Perijinan dan administrasi
c. Studi literatur
d. Perencanaan detail penanggulangan
e. Persiapan alat dan bahan
f. Seminar kecil rencana implementasi, tim peneliti, mahasiswa, dinas terkait.

Pelaksanaan
a. Implementasi penanggulangan berupa intervensi ekologi (dengan vegetasi, fauna dan hidraulik).
b. Evaluasi bulanan perubahan komponen ekologi

Penyelesaian
a. Analisis hasil evaluasi penanggulangan bencana.
b. Rekomendasi penyelesian masalah untuk lokasi metigasi dan rekomendasi secara umum.
d. Seminar laporan ahir
c. Pembuatan laporan akhir






















G. OUTPUT, OUTCOME DAN DAMPAK

Tahap Kegiatan Tahun I OUTPUT OUTCOME DAMPAK
Persiapan:
a. Diskusi peneliti dan pembantu peneliti
b. Perijinan dan administrasi
c. Studi literatur
d. Perencanaan detail penelitian
e. Persiapan alat dan bahan
f. Seminar kecil rencana penelitian, tim peneliti, mahasiswa, dinas terkait.


Pelaksanaan
a.Pengumpulan data sekunder
b.Survai lapangan makro
c.Survai fauna dan vegetasi wilayah muara sungai
d.Survai jenis dan karakteristik tanah
e.Survai sosial dan nelayan kaitannya dengan perubahan hidarulik dan ekologi
f. Analisis laboratorium karakteristik vegetasi dan fauna muara sungai
g. Analisis perubahan hidraulik muara dengan model numeric atau fisik.
f. Anlisis kualitatif hasil survai social.
g. Seminar kecil hasil pelaksanaan mitigasi



Penyelesaian
a. Penyajian penyebab bencana ekologi-hidraulik di wilayah muara.
b. Penyajian dan rekomendasi metode ekologi-hidraulik untuk penanggulangan bencana.
c. Seminar laporan akhir
d. Pembuatan laporan ahir



Membangun pengetahuan antara stake holder tentang arti pentingnya bencana ekologi wilayah muara dan pesisir

Pengumpulan Literatur sebagai pijakan bank informasi khusus mengenahi bencana ekologi muara dan pesisir

Menemukembangkan metode-metode penelitian bencana ekologi wilayah muara dan pesisir





Mengenali perubahan konsisi fisik muarasungai akibat kegiatan fisik

Mengenali perubahan ekologi muara dan pesisirnya akiobat kegiatan fisik


Mengetahui secara detail bentuk-bentuk bencana ekologi di wilayah muara dan pesisir

Desiminasi masalah bencana ekologi wilayaj muara dan pesisir






Laporan Hasil Penelitian




















Perencananaan pilot proyek Metigasi bencana ekologi wilayah muara dan pesisir.

Predisksi keberhasilan pilot proyek metigasi bencana ekologi yang direncanakan.



Masukan kepada proyek South Java Flood Control Project


Rencana Implementasi metigasi bencana di daerah lain dengan karakterstik serupa





Masyarakat dan stake holeder mengatahui adanya dampak negatif bangunan fisik hidraulik di muara terhadap ekologi muara dan pesisir



















Masukan hasil penelitian dan informasi peserta seminar dapat menjadi dasar pemikiran baru terhadap masalah serupa di muara sungai-sungai lainnya




















Rencana pokok Implemntasi Penanggulangan Bencana
(pilot project) OUTPUT OUTCAME DAMPAK
Persiapan:
a. Diskusi metode implementsi
b. Perijinan dan administrasi
c. Studi literatur
d. Perencanaan detail penanggulangan
e. Persiapan alat dan bahan
f. Seminar kecil rencana implementasi, tim peneliti, mahasiswa, dinas terkait.

Pelaksanaan
a. Implementasi penanggulangan berupa intervensi ekologi (dengan vegetasi, fauna dan hidraulik).
b. Evaluasi bulanan perubahan komponen ekologi

Penyelesaian
a. Analisis hasil evaluasi penanggulangan bencana.
b. Rekomendasi penyelesian masalah untuk lokasi metigasi dan rekomendasi secara umum.
d. Seminar laporan ahir
c. Pembuatan laporan akhir




Ijin implementasi pilot proyek dari hasil penelitian





Masukan hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pilot proyek metigasi



Implementasi metode Metigasi.




Analisis Perubahan yang terjadi dan hasil monitoring


Analisis hasil



Rekomendasi






Desiminasi kepada stake holder









Rencana pilot proyek matang lengkap dengan prediksi










Perubahan dan revisi mikro pilot proyek



Rencana metigasi bencana Ekologi-hidraulis lanjutan


Rencana metigasi bencana ekologi-hidraulis di muara sungai lainnya


Menyuyun buku panduan awal masalah bencana ekologi-hidraulis daerah muara sungai

















Perbaikan kondisi ekologi daerah muara dan pesisir

Keinaikan deversifikasi flora dan fauna daerah muara



Wacana bencana ekologi-hidraulis berkembang di masyarakat

Dinas terkait akan lebih memberikan perhatian terhadap bencana ekologi-hidraulis daerah muara




H. PERSONALIA PENELITIAN
1. Metigator I (Ketua tim)
a. Nama Lengkap : Dr.-Ing. Ir. Agus Maryono
b. Pengalaman penelitian 2 – 3 tahun terkhir:
1) Research on Numerical Modelling of Flow over Vegetated Islands, Institute of Water Resources Management, Hydraulic and Rural Engineering, University of Karslruhe, Germany, 2000
2) Penelitian tentang Penyelesaian Masalah Tebing dangan konsep Eko-Hidraulik di Sungai Kuning, 2003.
3) Penelitian tentang Penyusunan Integral Profil Sungai Winongo, Yogyakarta, 2002,
4) Penelitian tentang Dampak Pelurusan Sungai Code, Yogyakarta 2002 (Bersama Mahasiswa Bimbingan)
5) Penelitian tentang Dampak Hudraulik dan Ekologi dari Pelurusan Sungai Bengawan Solo, 2003 (Bersama Mahasiswa Bimbingan)

h. Publikasi 2 – 3 tahun terakhir:

1) Maryono A, 2001: Pengaruh Pelururusan Sungai Ditinjau dari Eko-hidraulik, Proceeding - Seminar Eko-Hidraulik, Asosiasi Eko-Hidraulik Indonesia (ASEHI).
2) Maryono A.,2002: Integrated Investigation of Winongo River Profile in Yogyakarta Special region, Java Indonesiam, Proceeding Seminar SURED, 2002.
3) Maryono, A, 2002: Eko-Engineering Atasi Longsoran Tebing, Kompas.
4) Maryono, A,.2002: EKO-HIDRAULIK PEMBANGUNAN SUNGAI, Magister Sistem Teknik, Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, 2002.
5) Maryono A., et all., 2002: HIDROLIKA TERAPAN, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2002.
6) Maryono A., 2003: River Development, Impact and River Restoration, Magister Sistem Teknik, Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, 2003 (Proses Cetak).
2. Metigator IV
a. Nama Lengkap : Dr. Ir. Nizam Msc.
b. Bidang Studi : Sipil Hidro-Pantai

3. Metigator III
a. Nama Lengkap : M. Sulaiman ST, MT
b. Fakultas / Bidang Studi : Fak. Teknik/ Sipil Hidro-Lingkungan

4. Metigator II
a. Nama lengkap : Drs. Namastra Probosunu M.Si.
b. Bidang Studi : Biologi Lingkungan
f. Pengalaman penelitian 2 – 3 tahun terkhir:
1) Peneliti Utama pada “ Kajian Perubahan Kualitas Air Sungai Buntung Akibat Pembuangan Limbah Peternakan Babi di Desa Banyuraden Gamping Sleman, 2001
2) Ahli Biologi Lingkungan pada Studi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Gunung Merapi di Wilayah
3) Jawa Tengah, Badan Perencaam Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Tengah – Pusat Studi Lingkungan Hidup , UGM, 2002.
4) Ahli Biologi/Lingkungan pada Studi Penyusunan Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengerukan dan reklamasi Berwawasan Lingkungan (Pedoman AMDAL), Bagian Proyek Pembinaan dan Pengendalian Anlisis Dampak Lingkungan Departemen Perhubungan., 1999.
5) Ahli Biologi/Lingkungan pada Studi Analisis Dampak Lingkungan Tempat Pembuangan akhir Sampah di Desa Balaicatur, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, 2001.


3. Pembantu Peneliti:
No. Nama No. Mahasiswa Tugas
1 Arnez Sepriadi 01/151377/ET/02344 Membantu tugas survai data sekunder dan survai data primer lapangan
2 Heri Sutiarso 02/158507/ET/02778 Membantu analisis data di stodio dan dilaboratorium


I. BIAYA YANG DIPERLUKAN

Pos Anggaran Metigasi Implentasi Penaggulangan (ilot project)
1. Bahan 10.000,00,- 10.000.000,-
2. Alat/Komponen Alat/Bahan 25.000.000,- 100.000.000,-
3. Perjalanan dan Akomodasi 25.000.000,- 25.000.000,-
4. Honorarium 50.000.000,- 50.000.000,-
5. Pemeriksaan Laboratorium 20.000.000,- 10.000
6. Diskusi dan Seminar Desiminasi 20.000.000,- 20.000.000,-
7. Penyusunan Proposal dan survei awal 10.000.000,- -
8. Pembuatan Laporan dan publikasi dan Dokumentasi 12.500.000,- 12.500.000,-
Jumlah 172.500.000,- 232.500.000.-
Jumlah Keseluruhan Rp. 405.000.000,-









Yogyakarta, April 2003
Peneliti Utama





Dr.-Ing. Agus Maryono
NIP 13176656

PERAIRAN DIKAWASAN PESISIR

Secara fungsional perairan di kawasan pesisir dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) zona yaitu perairan estuari, perairan pantai dan perairan samudera.

1. Perairan Estuari
Estuari adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga dipengaruhi oleh pasang-surut, dan terjadi percampuran yang masih dapat terukur antara air laut dengan air tawar yang berasal dari drainase daratan. Termasuk dalam estuari tidak hanya badan air saja, melainkan juga basin perairan estuari dan daerah tepian estuari yang secara berkala tertutup oleh air pasang atau oleh peristiwa alam lain seperti badai. Salinitas estuari berfluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh musim dan pasang-surut. Tanah di estuari umumnya berlapis-lapis sesuai dengan amplitudo pasang-surut. Di pantai yang rendah, estuari sering mengalami evolusi membentuk delta. Di daerah tropik pembentukan delta dipercepat oleh adanya vegetasi mangrove terutama Rhizophora dan Avicennia. Pada umumnya estuari mempunyai produksi biologik tinggi. Produktivitas primer estuari ditentukan oleh fitoplankton, diatom bentik, rumput laut dan berbagai kelekap. Disamping mempunyai produktivitas primer yang tinggi, estuari berfungsi sebagai tempat penimbunan bahan-bahan organik yang dibawa aliran sungai. Detritus membentuk substrat guna pertumbuhan berbagai bakteri dan alga yang selanjutnya menjadi sumber pakan penting bagi hewan pemakan suspensi dan detritus.
Di daerah estuari terdapat bermacam-macam fauna termasuk belanak (Mugil sp.), tiram (oysters), kepiting (crabs) dan udang (shrimps). Estuari merupakan tempat asuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi anak ikan. Ikan-ikan migrator (diadrom) yang sering terdapat di estuari sangat toleransi terhadap perubahan salinitas dan faktor-faktor lain. Estuari merupakan jalan masuk dan keluar jenis-jenis ikan migrator tersebut, baik ikan anadrom maupun katadrom.
Secara umum fauna yang kemungkinan terdapat di perairan estuari terdiri atas fauna yang termasuk jenis-jenis stenohalin, euryhalin, payau, jenis fauna air tawar tetapi dapat hidup di estuari, bahkan ada kemungkinan terdapat jenis fauna darat tetapi dapat hidup di estuari. Penelitian Suadi dkk. (2001) di Sungai Opak-Oya bagian hilir menunjukkan di perairan sungai tersebut terdapat sedikitnya 25 jenis ikan dan udang yang beberapa jenis di antaranya merupakan jenis-jenis ikan migrator. Beberapa jenis ikan migrator tersebut ada yang termasuk ikan laut seperti ikan kuweh (Caranx ignobilis), belanak (Mugil cephalus) dan keting (Mystus nemurus) serta ikan air tawar seperti sidat (Moriqua raitaborua).
Bentuk dan ukuran basin perairan sangat beragam tetapi pada umumnya dapat dibedakan menjadi 4 (empat):

a. Sungai pasang-surut
Sungai pasang-surut (tidal river) adalah batang sungai terhilir yang bermuara di laut, mulai dari muara sampai suatu lokasi di hulu yang fenomena laut seperti pasang-surut dan percampuran dengan air laut masih terukur/terlihat. Disarankan lokasi di sungai dengan salinitas sebesar 0,5o/oo ditetapkan sebagai batas hulu suatu sungai pasang-surut.

b. Teluk
Teluk adalah suatu perairan pesisir semi tertutup yang lebih luas dan pada umumnya hubungannya dengan laut sangat terbuka, sehingga pengaruh pasang-surut juga cukup besar dan limpasan air teluk melalui arus pasang dan arus surut juga berlangsung baik. Arus di dalam teluk seringkali juga mendapat tenaga penggerak tambahan yang bersumber dari air tawar yang masuk ke dalam teluk.

c. Embayment
Embayment dapat dibedakan dengan teluk dengan melihat beberapa ciri sebagai berikut:
1) hubungan dengan laut sempit,
2) kurang luas dan dangkal bila dibandingkan dengan teluk,
3) amplitudo pasang-surut relatif kecil,
4) aliran masuk air tawar besar,
5) sirkulasi air terbatas hingga limpasan biasanya juga terbatas, kecuali jika aliran masuk air tawar sangat besar.

d. Laguna
Laguna dapat dibedakan dengan teluk dan embayment dengan melihat ciri-cirinya sebagai berikut:
1) hubungan dengan laut sempit,
2) aliran masuk air tawar kecil,
3) salinitas relatif tinggi dan konstan,
4) sirkulasi air lamban.


2. Perairan Pantai
Perairan pantai meliputi perairan laut mulai dari batas estuari ke arah laut sampai batas paparan benua atau batasan teritorial. Pada kawasan pesisir yang tidak meiliki estuari, batas perairan pantai dengan daratan adalah garis pantai. Pada perbatasan antara perairan pantai dengan daratan pesisir terdapat zona tepian. Zona tersebut juga terdapat pada perbatasan estuari dengan daratan pesisir. Daerah tepian masih tergolong perairan pesisir walaupun mungkin hanya tergenang air pada waktu air pasang, atau hanya saat terjadi banjir oleh badai. Daerah tepian ini pada umumnya ditutupi oleh beraneka ragam vegetasi dan dihuni beberapa jenis biota. Pada daerah tepian terdapat beberapa tipe ekosistem:

a. Ekosistem litoral
1) Pantai berpasir dangkal
Ekosistem tersebut umumnya terdapat di perairan pantai terbuka yang jauh dari pengaruh sungai besar. Bentuknya dapat berupa hamparan pasir luas yang membentang dari garis pantai ke arah laut, atau dapat berupa daerah sempit antara dua dinding/tebing batu terjal. Biota yang sering dijumpai antara lain:
a) Rumput laut atau algae: Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halimeda dan Padina.
b) Kerang dan siput laut: Anadara, Cardium, Mesodesma, Pinna, Cerithium dan Strombus.
c) Kepiting dan teripang (echinodermata).

2) Pantai berbatu
Pantai berbatu terbentuk dari batu-batu granit besar dan kecil yang berserakan di daerah pantai tempat ombak memecah, dan umumnya terdapat bersama-sama atau berseling dengan pantai berdinding batu. Biota yang sering dijumpai antara lain:
a) Algae : Sargasum, Eucheuma dan Gelidium.
b) Gastropoda : Cellana, Petella, Siphonaria dan Nerita.

3) Pantai berkarang
Pantai berkarang terbentuk sebagai hasil kegiatan organisme laut yaitu dari jenis-jenis hewan yang termasuk Phylum Coelenterata seperti Acropora, Fungia dan Porites, serta beberapa jenis algae kapur seperti Halimeda dan Lithothamnion.


4) Pantai berlumpur
Pantai lumpur terbentuk di sekitar muara sungai, umumnya merupakan bagian dari estuari atau delta, seringkali terbentang luas ke arah laut. Tebal endapan lumpur dapat mencapai satu meter atau lebih. Di bagian pinggir yang berlumpur cukup padat dan stabil, hidup jenis-jenis Mollusca, Crustacea dan jenis rumput laut Enhalus. Di bagian pantai berlumpur dekat garis pantai biasanya ditumbuhi oleh jenis Avicennia.

b. Hutan payau
Hutan payau atau hutan mangrove tersebar luas di pantai kepulauan Indonesia pada pantai-pantai yang terlindung, muara sungai dan laguna. Struktur hutan payau sangat sederhana yang umumnya hanya terdiri atas selapis tajuk tumbuhan dengan jumlah jenis yang kecil. Jenis-jenis yang dominan terdiri atas Genera Rhizophora, Bruguiera dan Avicennia.
Dominansi flora pada hutan mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting seperti jenis tanah dan genangan pasang surut. Di daerah pantai terbuka dengan tanah berpasir agak keras mangrove didominasi oleh api-api (Avicennia), sedangkan jika tanahnya berlumpur lembut, mangrove didominasi oleh pedada (Sonneratia). Di pantai yang terlindung mangrove biasanya didominasi oleh bakau (Rhizophora), di pantai dengan tanah lempung flora yang dominan yaitu tanjang (Bruguiera), sedangkan di tepi sungai agak ke hulu mangrove didominasi oleh nipah (Nypa).
Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di kawasan pesisir dan lautan. Fungsi dan manfaat mangrove antara lain:
(1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen;
(2) penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove;
(3) bagi perikanan: daerah mencari makanan (feeding ground), tempat berlindung (shelter), daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), habitat tetap, daerah penangkapan (fishing ground) dan tempat budidaya;
(4) penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan bahan baku kertas;
(5) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya;
(6) sebagai tempat wisata.



c. Hutan terna rawa payau
Tipe ekosistem tersebut sering terdapat di belakang hutan payau atau di pantai yang landai dengan drainase yang kurang baik, dengan lapisan tanah liat yang pejal dan tidak tembus air. Pada dasarnya ekosistem tersebut merupakan ekosistem hutan payau tetapi jarang dibanjiri atau tergenang air laut. Vegetasi terna yang dapat dijumpai antara lain Sesuvium portulacastrum, Suaeda maritima dan Trianthema triquerta.
d. Hutan rawa air tawar
Hutan ini merupakan hutan hujan tropik yang tergenang secara terus menerus atau musiman, dan terdapat pada bagian hilir sungai besar dan anak-anak sungainya, atau di delta di belakang hutan payau atau di sepanjang sungai di belakang tanggul-tanggul alami. Tanah di ekosistem ini berupa endapan aluvial dari sungai, terutama dengan tekstur liat, kadang-kadang debu dan jarang sekali berupa pasir. Jenis-jenis vegetasi yang khas pada ekosistem ini antara lain dari Genera Gluta, Metroxylon, Barringtonia, Shorea, Pandanus dan Campnosperma.

e. Hutan rawa gambut
Hutan rawa gambut terdapat di daerah yang sama dengan hutan rawa air tawar, tetapi dalam lingkungan air yang oligotropik yang memungkinkan terbentuknya gambut. Vege-tasi yang umum dijumpai pada ekosistem hutan rawa gambut yaitu anggota Genera Alstonia, Amoora, Dryobalanops, Eugenia dan lain-lain. Di samping itu, seringkali juga terlihat kecenderungan terbentuknya tegakan murni Agathis dan Campnosperma macrophylla.

3. Perairan Samudera
Termasuk dalam perairan samudera adalah semua perairan ke arah laut terbuka dari batas paparan benua atau batas teritorial. Di kebanyakan perairan samudera, salinitas umumnya berkisar antara 34-35o/oo.


DAFTAR PUSTAKA

Brotowidjoyo, M.D., Tribawono, D. dan E. Mulbyantoro, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty, Yogyakarta.

Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut. Gramedia, Jakarta.

Odum, E.P., 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Suadi, Soeparno, Probosunu, N. dan B. Kamulyan, 2001. Studi Biofisik Perairan Sungai Opak-Oya Hilir. Seminar Nasional Eko-hidraulik. Yogyakarta 28-29 Maret 2001.

Rabu, 12 November 2008

Jepang, sebuah negeri penuh inovasi. Mungkin sebutan itu sesuai dengan bagaimana jepang menangani masalah sampah. Setelah berhasil membuat sebuah airport berkelas internasional di Kobe yang dibuat diatas lapisan sampah, lalu menerapkan pembuatan pupuk dari sampah di berbagai hotel di jepang, kini jepang telah berhasil mengubah sampah menjadi produk semen yang kemudian dinamakan dengan ekosemen.

Ekosemen

Diawali penelitian di tahun 1992, dengan dibiayai oleh Development Bank of Japan, para peneliti Jepang telah meneliti kemungkinan abu hasil pembakaran sampah, endapan air kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yg sama dg bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1998, setelah melalui proses uji kelayakan akhirnya pabrik pertama didunia yang mengubah sampah menjadi semen didirikan di Chiba. Pabrik tersebut mampu menghasilkan ekosemen 110.000 ton per tahunnya. Sedangkan sampah yang diubah menjadi abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62.000 ton per tahun, endapan air kotor dan residu pembakaran yang diolah mencapai 28.000 ton per tahun. Hingga saat ini sudah dua pabrik di Jepang yang memproduksi ekosemen.


Gambar 1. Simulasi pembuatan eko semen dari limbah rumah tangga

Pembuatan ekosemen

Penduduk jepang membuang sampah baik organik maupun anorganik, sekitar 50 juta ton/tahun. Dari 50 ton per tahun tersebut yang dibakar menjadi abu sekitar 37 ton per tahun. Sedangkan abu yang dihasilkan mencapai 6 ton/tahunnya. Dari abu inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan dari pembuatan ekosemen. Abu ini dan endapan air kotor mengandung senyawa-senyawa dalam pembentukan semen biasa. Yaitu, senyawa-senyawa oksida seperti CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Oleh karena itu, abu ini bisa berfungsi sebagai pengganti clay yang digunakan pada pembuatan semen biasa.

Namun CaO yang terkandung pada abu hasil pembakaran sampah dinilai masih belum mencukupi, sehingga limestone (batu kapur) sebagai sumber CaO masih dibutuhkan sekitar 52 persen dari keseluruhan. Sedangkan pada semen biasa, limestone yg dibutuhkan mencapai 78 persen dari keseluruhan.

Proses selanjutnya adalah abu hasil pembakaran sampah (39 persen), limestone (52 persen), endapan air kotor (8 persen) dan bahan lainnya dimasukkan ke dalam rotary klin untuk kemudian dibakar. Untuk mencegah terbentuknya dioksin, pada proses pembakaran di rotary klin, dilakukan pada 1400 derajat celcius lebih dimana pada suhu tersebut dioksin terurai secara aman.


Gambar 2. Rotary klin (Sumber : www.ichiharaeco.co.jp)

Kemudian gas hasil pembakaran pada rotary klin didinginkan secara cepat untuk mencegah proses pembentukan dioksin ulang. Sehingga hasil gas buangan tidaklah berbahaya bagi manusia. Sedangkan pada hasil pembakaran yang masih mengandung senyawa logam dipisahkan, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kebutuhan lain.
Hasil akhir dari proses ini adalah ekosemen.

Pengaruh plastik vinil

Plastik vinil yang terdapat dalam sampah pada proses pembakaran akan mengakibat kekuatan konkrit ekosemen akan berkurang. Hal ini diakibatkan oleh adanya gas Cl2 hasil peruraian plastik vinil yang dapat mempengaruhi kekuatan konkrit ekosemen.

Kualitas ekosemen

Berdasarkan hasil pengujian JSA (Japan Standar Association) dinyatakan bahwa ekosemen mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan semen biasa. Sehingga, hingga saat ini penggunaan ekosemen sudah digunakan dalam pembangunan jembatan, jalan, rumah, dan bangunan lainnya di Jepang.


Gambar 3. Struktur ekosemen (Sumber : www.ichiharaeco.co.jp)

Dengan adanya pengubahan sampah menjadi semen, menambah alternatif pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat bagi manusia yang telah membuangnya. Selain itu dengan adanya alternatif pengolahan sampah menjadi semen, biaya pengolahan sampah di Jepang menjadi lebih murah. Bila sebelumnya 40.000 yen per ton (pengolahan sampah konvensional) menjadi 39.000 yen per ton (pengolahan sampah hingga menjadi semen).

Peluang di Indonesia

Indonesia belum bisa lepas dari masalah sampah. Mulai dari penolakan warga masyarakat sekitar TPA akibat kepulan asap dan bau yang ditimbulan pengolahan sampah saat ini hingga kejadian yang tidak pernah dilupakan, tragedi leuwih gajah yang merenggut 24 nyawa tak bersalah.

Sudah banyak upaya yang dilakukan, termasuk dengan mengubahnya menjadi sumber energi (metan) namun akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, akhirnya perkembangannya masih jalan ditempat.

Berhasilnya Jepang, mengolah sampah menjadi semen, tentu menjadi peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Di Jakarta saja sampah yang dihasilkan oleh warganya mencapai 6000 ton lebih per hari. Selain itu secara prinsip, pembuatan ekosemen hampir sama dengan pembuatan semen biasa, sehingga jika bisa dilakukan kerja sama dengan pihak industri semen, maka akan jadi kerjasama yang menguntungkan baik pihak pemerintah maupun pihak industri. Dari pihak pemerintah penanganan sampah bisa sedikit teratasi dan dari pihak industri mampu mengurangi penggunaan limestone (26 persen).

Namun yang terpenting adalah kemauan pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah, untuk mengelola sampah dengan baik dan memulai untuk mencoba memisahkan sampah antara sampah organik, anorganik, botol dan kaleng menjadi kebudayaan bangsa Indonesia secara luas. Sehingga peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain bisa oleh pihak industri bisa lebih ekonomis.

, seoharto

Soeharto di Iklan PKS…Hahaha

In All News, Politik on 10 Nopember 2008 at 11:02 pm

http://nirwansyahputra.files.wordpress.com/2008/11/soeharto.jpg?w=128&h=90Kebablasan dan semakin kehilangan arah perjuangan. Itulah yang saya lihat dari iklan PKS terbaru dengan tema Pahlawan. Meletakkan KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, M Natsir dan kemudian disejajarkan dengan …. ini dia: Soeharto!

What is wrong with you PKS? Mengapa harus begitu? Kalaulah pengurus PKS ingin partai ini menjadi perbincangan hangat di seluruh negeri dan kemudian menimbulkan dampak kampanye yang sensasional dan kemudian mereguk pemilih yang sebesar-besarnya dalam Pemilih 2009 di tengah-tengah masyarakat kita yang mayoritas masih belum menjadi pemilih rasional … tujuan itu jelas-jelas sangat berhasil. Walau dari segi resiko, menarik juga menganalisia mengapa pengurus PKS menempuh resiko itu. Menarik juga mencari sebab mengapa PKS sedemikian mengkultuskan Soeharto sebagai ”Guru Bangsa”.

Harapannya gampang saja, yaitu ingin meraup pemilih dari pengikut Soeharto yang diyakini masih ada di negeri ini. Kalau tak dapat 100% simpati, ya, 10% pun jadilah. Bila yang 100% itu berjumlah katakan saja 30 juta pemilih, maka mudah-mudahan 3 juta orang pengikut Soeharto bisa mencoblos PKS. Jadi, bila kemudian alasan pengkultusan Soeharto sebagai “guru bangsa” oleh PKS disebutkan karena “Soeharto juga berjasa baik dan punya sejarah di negeri ini”…ya, itu apologi semata la. Ini politik. Dan untuk menang dalam politik, maka Anda harus punya pemilih sebanyak-banyaknya. Soal etika, pembelajaran, hukum, tata krama, silaturahim dan apalagi reformasi, ya, maaf saja, Anda tak dapat tempat dalam diskursus ini.

Nah, skenario kedua tentu saja, pendukung PKS sudah waktunya untuk waspada terhadap skenario untuk penghancuran PKS sudah mulai dilakukan secara sistematis dari internal PKS. Bila asumsi ini bisa dipegang, maka sudah saatnya, mereka-mereka para pecinta partai ini sudah harus harus menyisir satu per satu siapa-siapa saja yang bercokol di dalam PKS, menilik lebih rinci dan menganalisa lebih dalam soal itu. Pesan saya hanya itu. Well, itulah politik, kalau tidak menghancurkan ya dihancurkan.

Jelaslah bila reformasi belum juga berhasil di negeri ini. Atau malah kita tertawakan saja kondisi ini…?

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

NOMOR 08 TAHUN 2006

TENTANG

PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI

DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor: 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor: 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup saat ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan sehingga perlu diperbaharui;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

Pasal 1

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup, dan Pedoman Penyusunan Ringkasan Eksekutif.

Pasal 2

(1) Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

(2) Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.

(3) Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini.

(4) Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.

(5) Ringkasan Eksekutif disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Ringkasan Eksekutif sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini.

(6) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang sedang dalam proses dan/atau sudah diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini mengacu pada Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang sebelumnya.

Pasal 4

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka:

a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

b. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 Agustus 2006

Menteri Negara

Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi MENLH Bidang

Penaatan Lingkungan,

ttd.

Hoetomo, MPA.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

NOMOR 08 TAHUN 2006

TENTANG

PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI

DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor: 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor: 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup saat ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan sehingga perlu diperbaharui;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

Pasal 1

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup, dan Pedoman Penyusunan Ringkasan Eksekutif.

Pasal 2

(1) Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

(2) Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.

(3) Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini.

(4) Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.

(5) Ringkasan Eksekutif disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Ringkasan Eksekutif sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini.

(6) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang sedang dalam proses dan/atau sudah diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini mengacu pada Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang sebelumnya.

Pasal 4

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka:

a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

b. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 30 Agustus 2006

Menteri Negara

Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi MENLH Bidang

Penaatan Lingkungan,

ttd.

Hoetomo, MPA.